Senin, 21 Maret 2011

The Gift For You

Title : The Gift For You

Author : Dita Rachmawati (DR Rara)

Length : 9 page Ms. Word

Genre : Romantic

Cast :

- Kim Eun Hee (Vivi)

- Onew

- Song Eun Ra (Author)

- Key

Rating : PG17

Onew mengecup kening Eunhee pelan. Takut-takut gerakannya malah merusak mimpi yeoja itu yang kelihatannya indah. Wajah manis itu tampak merah menyala, efek demam yang dideritanya sejak tadi siang.

Air wajah Onew yang sedetik lalu penuh lelah dan penat, kini berubah sedih dan iba. Ia menyadari sesuatu yang terjadi akhir-akhir ini.

“Mianhae... aku terlalu sibuk sampai lalai dari tugasku untuk menjagamu...” desis Onew pelan dengan suara beratnya yang sedikit bergetar.

Dengan refleks, jemari-jemari Onew mulai menyusuri rambut hitam yeoja itu. Mengusapnya pelan dengan penuh perasaan. Menitinya satu persatu di atas kening yeoja manis itu. Tak lama, timbul kaca-kaca yang meleleh di setiap sudut mata bulan sabitnya. Menitikkan tetes-tetes bening di atas pipinya yang chubby. Ada seraut wajah sedih dan iba yang nampak di wajah tampan itu.

“Mianhae... karena aku belum bisa memenuhi rasa rindumu yang mendalam itu...” namja itu mulai berisak. “Aku memang suami yang buruk...” tangisnya pecah sambil mengutuk dirinya sendiri. Rasa bersalah begitu berat mengerubuni seluruh hatinya.

---

“Yaa!! Eunhee-ya...” sapa Eunra dengan cerianya. Mereka sama-sama bekerja sebagai guru TK dan lulusan dari universitas yang sama, makanya hubungan mereka sangat dekat. Bahkan mereka lebih terlihat seperti saudara kandung.

“Hey Eunra...” sahut Eunhee sebaliknya. Ia tampak sangat lemas dengan wajah yang jauh lebih pucat setelah mengajar.

“Waeyo??” tanya Eunra bingung setelah Eunhee mengambil tempat di sisinya. “Apa kau sakit??” Eunra meraba kening Eunhee, memastikan apa teman baiknya itu sedang tidak sehat. “Yaa!! Badanmu panas!! Kau kenapa? Sudah minum obat??” tanya Eunra panik.

Tanpa menjawab, Eunhee menenggelamkan wajahnya di atas lengannya yang dilipat di atas meja. Kepalanya terasa pening dan berat, bahkan membuatnya merasa mual.

Tanpa diberitahu, Eunra segera sadar. Ia tahu jelas apa yang sedang dialami sahabat baiknya itu. Ia sadar betul seberat apa derita yang ditanggung yeoja bertubuh langsing itu.

Dengan lemah dan iba, Eunra mengusap pelan pundak sahabat baiknya itu. Mencoba mengisyaratkan bahwa ia juga punya derita yang sama dengan Eunhee, bahkan lebih dari itu...

“Aku tahu sebesar apa deritamu itu...” desis yeoja berambut ikal itu memalingkan wajahnya dan menunduk. “Masih ada yang jauh lebih menderita daripada dirimu Eunhee...” sambungnya dengan mata berkaca-kaca.

Eunhee mengangkat wajahnya dan menatap sahabatnya itu dengan tatapan Eunra sebelumnya.

“Umma...” tiba-tiba seorang bocah lelaki kecil muncul dari pintu sambil berteriak dan berlari ceria menuju pangkuan Eunra. Ada sebatang permen yang digenggamnya.

Eunra menyambut bocah itu dengan wajah palsu. Ia tersenyum dengan mata yang masih berkaca-kaca. Mencoba membohongi anaknya seolah ia tak sedang murung.

“Jin Hae-ya, kau dapat permen dari siapa?” tanya Eunra lembut sambil mengacung-ngacungkan permen di tangan mungil anaknya.

“Jin Hae...” tiba-tiba terdengar suara berat seorang namja yang memanggil bocah imut itu dari ambang pintu. Serentak Eunra dan Eunhee menoleh.

Tampak seorang namja berkemeja putih seperti Eunra dengan jas dipundaknya. Sekejap tersirat penatnya yang tersembunyi dibalik senyuman. Tanpa harus berpikir, mereka sudah tahu jelas sosok siapa itu.

Dengan segera Eunra beranjak untuk menghampiri namja tampan itu. Meninggalkan Eunhee yang masih menatapnya sampai jauh. Eunhee tak melepas pandangannya ketika Eunra mengecup bibir suaminya pelan dan berbisik membicarakan sesuatu. Bahkan namja itu sempat menghapus air mata yang menitik di pipi Eunra dan bertanya mengapa. Lalu sesaat kemudian mengucap salam dan membawa anaknya ke taman bermain. Eunhee hafal jelas kebiasaan Key yang selalu membawa anaknya bermain sebelum pulang sambil menunggu Eunra membereskan barang-barangnya.

Untuk beberapa saat Eunra kembali duduk di sisi Eunhee dengan mata yang semakin merah menahan tangis.

“Kau tahu, semenjak aku menikah dan melahirkan Jin Hae, Key tak pernah akur dengan kedua orang tuanya. Mereka masih belum bisa menerima aku sebagai menantu mereka...” tangis Eunra kini pecah. “Kau tahu yang membuatku sakit... Key selalu bertengkar dengan orang tuanya hanya demi membelaku. Melindungiku dari semua keluarga besarnya yang membenciku. Dan aku... aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan posisiku yang serba salah ini...” curhat Eunra miris. Ia menekan dadanya kuat-kuat. Terasa sesak nafasnya dengan sebilah luka di dalam sana.

Beberapa saat Eunra menyengajakan mengurai air matanya yang sudah lama ia tahan. Mencoba melepaskan semua penderitaan yang ia tanggung selama ini di atas pundak Eunhee.

Sedang Eunhee, ia hanya bisa mengelus punggung yeoja itu pelan. Beberapa kali sampai tangisannya reda.

“Tapi setidaknya...” Eunra mengangkat kepalanya dan menatap kedua bola mata Eunhee. “Kita sama-sama masih punya keberuntungan...” Eunra menghapus bersih air matanya. Lalu mengganti semua itu dengan senyuman. “Aku masih punya 2 malaikat hidupku, Key dan Jin Hae, sedang kau... kau dekat dengan keluarga iparmu. Mereka selalu mendukungmu seperti aku. Kita berada di posisi yang berlawanan... tapi setidaknya itu bisa sedikit menghibur bukan?!” jelas Eunra sambil memberesi barang-barangnya yang berserakan di atas meja.

Kata-kata sahabatnya itu benar-benar membuat Eunhee menyadari satu hal. “Ya... kau benar... aku kehilangan Onew yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya...” ungkap Eunhee sedih dengan menyunggingkan senyuman miris.

Eunra menyahut Eunhee dengan senyuman yang sama sambil mengusap-usap punggung Eunhee.

“Kita pasti bisa melalui ini...” semangatnya sebelum mengucapkan salam dan lekas pergi.

---

“Ya... kau benar... aku kehilangan Onew yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya...” ungkap Eunhee sedih dengan menyunggingkan senyuman miris.

Tanpa yeoja itu sadari, ada sebilah hati yang merasa tersindir oleh ucapannya yang lirih itu.

Dengan gontai, namja bertubuh kekar itu melangkah mundur dari ambang pintu yang sebelumnya ingin ia masuki. Bucket ayam yang sebelumnya ingin ia berikan pada Eunhee, ikut ia bawa pergi.

“Waktunya tidak tepat...” desisnya sambil berjalan memasuki mobil.

Ia sadar betul rasa takut dan sedih berkecamuk hebat di dadanya. Tapi sebisa mungkin ia melarutkan semuanya dengan menyetir secara brutal untuk segera sampai di rumah. Ingin rasanya ia rengkuh yeoja itu dan mengatakan bahwa ia takut kehilangannya. Tapi di sisi lain, ia merasa tak pantas melakukan itu. Karena ia belum sanggup memenuhi janjinya untuk membawa Eunhee pada orang yang sangat dirindukannya. Dan ia bertekad untuk tetap menjauhi yeoja itu sampai ia sanggup untuk memenuhi janjinya.

“Semoga ia tak membahas tentang semuanya malam ini…” desisnya lagi ditengah rasa ketakutannya dan ditengah riuh suara klakson mobil atas kebrutalannya dalam berkendara.

---

“Yeobo... kau sudah pulang?” tegur Eunhee setengah terkejut saat mendapati sosok Onew di meja makan. Ia terlihat sibuk menghias sesuatu.

“Yaaaa!! Kau juga sudah pulang?” Onew menghampiri yeoja itu dengan deretan giginya yang rapi. Ia tampak sangat ceria. Jauh berbeda dari biasanya yang selalu terlihat lelah.

Dengan cepat namja itu merengkuh tubuh Eunhee. Memeluknya dan melumat bibir tipisnya. Manis… masih sama seperti saat terakhir ia menghabiskan waktunya bersama yeoja cantiknya. Untuk beberapa detik Onew terlarut dalam rasa rindunya. Tapi detik berikutnya ia memaksa hatinya untuk tetap menjauhi Eunhee, sadar akan janjinya yang belum tertepati.

Di sisi lain, Eunhee merasa bahagia ketika namja pujaannya kembali seperti dirinya dulu. Membuainya untuk berpikir bahwa mimpi buruknya telah usai. Tapi ia salah, salah besar ketika detik berikutnya datang. Onew melepas bibir dan pelukannya. Bahkan wajah itu, wajah dingin itu muncul lagi di hadapannya. Mimpi buruk itu masih akan menghiasi malamnya kali ini.

Sekejap Onew membaca pesan yang tersirat dalam air wajah Eunhee. Ia mengerti ketika Eunhee bicara dalam batin. “Kenapa kau berubah? Kapan kau bisa kembali seperti Onew-ku yang dulu? Yang selalu ceroboh, lucu, dan bersahabat denganku…”

Setitik… ada setitik air mata yang ia lihat hampir berlinang di kedua sudut mata besar Eunhee. Membuat Onew meluluh. Ia merasa lelah. Lelah yang sangat menyiksa. “Aku ingin menghentikan ini… aku ingin menghentikan sandiwara ini… aku tidak ingin melihatmu dengan wajah seperti itu…”

Di sisi sebaliknya, Eunhee sedikit tersentak saat ia kembali menemukan wajah lelah suaminya yang sesaat lalu hilang. Ia pikir malam ini bisa mendapat dispensasi. Ternyata tidak. Mimpi buruk itu akan kembali menghantuinya lagi malam ini.

“Kudengar dari Eunra, katanya kau sakit??” tanya Onew sambil menatap wajah Eunhee lekat. Ia meraba kening Eunhee.

“Annii...” sanggah Eunhee seraya menangkap tangan Onew dari keningnya. “Aku baik-baik saja... kau sedang apa di meja makan?” tanya Eunhee mengalihkan sambil berjalan mendekati meja makan.

“Tadi aku beli beberapa bucket ayam untukmu” sahut Onew sambil mengejar langkah Eunhee. Mereka sama-sama memasang wajah palsu seolah tak ada sesuatu yang baru saja terjadi atau mereka sadari.

“Waahh… kelihatannya enak… dalam rangka apa kau membeli ini semua??”

“Anii… kupikir kau sakit, makanya aku membelikanmu makanan agar kau lekas sembuh…” sahut Onew biasa. Eunhee mencoba menyicipi sedikit crispy yang menempel di kulit ayam yang ada di hadapannya.

“Enak…” Eunhee tersenyum kearah namja yang ternyata tengah menatapnya diam dari balik punggungnya.

“E… ehm…” Onew kembali memasang wajah palsunya dengan tersenyum. “Tentu saja, aku membelinya di restaurant favoriteku” sahutnya dengan mata yang berkata lain.

“Apa waktunya tepat untuk membahas itu??” Eunhee menimbang-nimbang sendiri dalam hati.

Tanpa Eunhee sadari, tangan jahil Onew sudah menghias hidungnya dengan mayonnaise.

“Yaaa…” teriak Eunhee disambut renyah tawa Onew yang sudah lama sekali tak terdengar.

Eunhee sempat tertegun, tak percaya bahwa wajha ceria Onew benar-benar ada di depan matanya. Dan tawa itu, benar-benar terdengar nyaring di telinganya. Benar-benar membuatnya tak percaya.

“Wae??” tanpa sadar Onew sudah berhenti tertawa ketika melihat Eunhee yang justru menunduk dengan mata berkaca-kaca. “Apa mayonnaisenya mengenai matamu??” Onew mengambil beberapa lembar tissue hendak menghapus krim putih itu dari hidung mancung Eunhee.

Tapi belum sempat Onew melakukannya, Eunhee sudah lebih dulu memeluk tubuh besar Onew. Melingkarkan tangannya di bahu namja itu. Tanpa menunggu waktu kembali berputar, Eunhee kini berganti melumat habis bibir tebal Onew. Menikmatinya dari sudut ke sudut. Membiarkan mayonnaise di hidungnya berpindah ke hidung Onew. Membiarkan pipi chubby namja itu ikut terbasahi oleh air matanya yang mengalir deras.

Hangat… hanya itu yang Onew rasakan. Bukankah semua itu sama persis seperti semua mimpinya akhir-akhir ini? Bukankah perasaan itulah yang ia rindukan selama ini? Bukankah orang dihadapannyalah yang ia butuhkan selama ini?

Set… tanpa membalas, Onew kembali memaksa hati dan pikirannya untuk kembali pada janjinya. Ia tak boleh tergoda sedikitpun dari konsistensinya. Bukan seperti ini yang dibutuhkan Eunhee, melainkan bertemu dengan orang yang ia rindukan. Itulah yang lebih dibutuhkan Eunhee saat ini.

Selesai dengan detik yang ia habiskan sendiri, Eunhee menarik tubuhnya dari tubuh kekar namja itu. ia menatap kedua mata bulan sabit dihadapannya. Hilang…

Sekejap air wajah Eunhee kembali berubah seperti beberapa menit lalu sebelum Onew tertawa dibalik punggungnya. Hilang… mata ceria yang semula ia temukan lagi pada diri Onew sudah hilang. Bukankah waktu baru berjalan beberapa detik? Secepat itukah mimpi indah itu berakhir? Secepat itukah kesempatannya untuk bahagia hilang?

Deg!! Eunhee seketika terdiam mematung. Senyumnya beku. Apalagi ketika namja tampan itu berlalu dari hadapannya dan mengambil jaket kulitnya yang tersandar di punggung kursi makan. Lalu memakainya dan tentu saja memancing Eunhee untuk mengeluarkan suara.

“Kau mau kemana?”

“Akuu… aku ada kerjaan yang belum selesai di kantor, jadi aku harus segera kembali ke mejaku…” sahut Onew biasa. Seolah tak ada yang terjadi sambil memikul tas di bahunya.

Dengan biasa pula ia membalikkan badan. “Aku pergi ya… jangan lupa habiskan makanannya…” pesan Onew sambil meraih sepasang sepatu di atas rak. Berkesan seperti dikejar waktu sampai-sampai tak sempat menatap wajah istrinya yang sudah berubah drastis.

“Kukira kita akan menghabiskannya bersama…” ucap Eunhee pelan. Dengan sekuat tenaga ia menahan untuk tidak mengeluarkan isakannya.

Onew terdiam. Tak menyangka kata-kata yang ditakutkannya akan keluar dari bibir Eunhee malam ini. Tak perlu mengulur waktu, Eunhee pasti akan membahas semuanya malam ini.

Hiks… tak lama sebuah isakan terdengar keras di telinga Onew. Tak lain dari yeoja itu. Membuatnya memejamkan mata. Ingin rasanya ia menghapus butiran-butiran air mata itu. Tapi ia sadar betul. Ia tak mungkin melakukan itu sekarang. Karena ia belum bisa menepati janjinya untuk menebus rasa rindu Eunhee yang teramat dalam.

“Kau ‘kan bisa menelpon sepupuku seperti biasanya untuk menemanimu makan…” sahut Onew ringan seolah tak mendengar isakan itu sedikitpun.

“Tapi aku ingin memakan semua ini denganmu Onew!! Tidakkah ada waktu untukku sedikit pun??” Eunhee sedikit berteriak mendapati Onew berniat melangkah pergi.

“Kenapa? Bukankah dulu kau tidak akan menuntut apapun padaku?” sahut Onew tenang sambil merunduk memakai sepatunya.

Hah?? Eunhee berusaha keras tak memperkeras tangisnya yang hampir meledak. Bahkan malam ini setelah keceriaannya kembali, namja itu malah berubah kasar dengan mengungkit-ungkit janji Eunhee saat mereka beresepsi.

“Tapi… tapi bukankah aku pantas mendapatkan hakku untuk menghabiskan waktu denganmu?”

“Aku…” Onew bangkit dan merapikan bajunya. “Aku tidak bisa melakukan hal itu saat ini. Terserah kau mau berbuat apa. Bila kau ingin menuntutku, tuntut saja…” sahut Onew dingin sambil melangkah mendekati daun pintu. “Aku pergi… jangan lupa habiskan makananmu…” pesan terakhir Onew masih dengan nada biasa seolah tak terjadi apa-apa dan lekas membuka daun pintu lalu melangkah pergi.

Dukk… daun pintu itu terdengar sedikit terbanting.

Tinggal yeoja itu terdiam sendiri dihadapan bucket ayam yang sama sekali tak ingin ia sentuh. Dadanya terasa sesak. Dalam hitungan detik isakan itu berubah. Tangis yang semula hanya berupa titik air mata yang mengalir lamban, kini mengalir deras memenuhi pipi chubbynya.

Eunhee terduduk lemas di lantai. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding dapur. Memeluk erat kedua kakinya. Menggigit keras bibir bawahnya. Tangisannya benar-benar tak dapat lagi ia tahan kali ini.

---

“Aku pergi… jangan lupa habiskan makananmu…” pesan terakhir Onew masih dengan nada biasa seolah tak terjadi apa-apa dan lekas membuka daun pintu lalu melangkah pergi.

Menutup daun pintu dengan bunyi yang sedikit nyaring dan terdiam menyandarkan tubuhnya pada daun pintu itu. Sesak… semenjak mereka menikah, ia sama sekali tak pernah bicara sekasar itu pada Eunhee. Ia tak pernah memarahi yeoja berwajah manis itu sedikitpun. Bahkan omongannya beberapa waktu lalu benar-benar diluar kendalinya.

“Mana mungkin aku bisa melepasmu Eunhee…” sesal Onew dengan tubuh yang terjatuh ke lantai. “Seandainya kau tahu posisiku saat ini…” kini namja itu mulai larut dalam isakannya yang pedih.

---

Eunhee tak berhenti berjalan mengitari ruang tamunya. Jam dinding sudah beribu kali ia tengok. Ponsel dan telpon rumahnya juga tak absen dari pandangannya setiap detik.

“Apa kau tak akan pulang lagi malam ini?” gumam Eunhee untuk kesekian kali sejak 2 menit lalu. Ia tak berhenti memainkan jemarinya, menggigit bibirnya, dan menggumam tak jelas. Bahkan jantungnya tak ada lelah berdetak dengan irama cepat selama 5 jam terakhir ini.

Betapa tidak, 3 hari bukan waktu yang sebentar untuk suaminya pergi. Apalagi kalau alasannya untuk kerja lembur. Itu sama sekali tidak masuk akal. Untuk apa Onew bekerja sekeras itu? Bukankah mereka hidup serba berkecukupan? Lagipula, apa Onew benar menganggap serius omongannya tentang tuntutan itu?

“Tidak…” Eunhee menjatuhkan tubuhnya ke lantai dengan lunglai. Ia frustasi. “Aku nggak mau bercerai… aku nggak mau kita bercerai…” teriaknya dengan tangan mengacak-acak rambut. Wajahnya jadi tambah kusut dengan butiran-butiran air mata yang mengalir deras memenuhi pipinya.

“Aku nggak mau lepas darimu Onew…” desisnya lirih. “Apa kau marah karena permintaanku kemarin??”

---

Yeobo… mianhae… jeongmal mianhae…

Atas permintaanku beberapa hari lalu

Apa kau masih marah padaku?

Dengan resah Eunhee berjalan keluar dari kompleks rumahnya. Langkahnya gontai, tatapannya kosong. Ditangannya ada sebatang ponsel yang terus ia genggam sepanjang jalan. Menanti balasan atas messagenya beberapa menit lalu.

Onew sama sekali tak menampakkan batang hidungnya selama 5 hari terakhir ini. Tak menjawab telponnya, tak juga membalas messagenya.

Eunhee sudah benar-benar frustasi dibuatnya. Ia seperti bunga yang kehilangan kelopaknya. Tak ada tempatnya bergantung lagi selama ini. Ingin menangis, ia sudah melakukan hal itu selama Onew hilang. Ia merasa air matanya telah benar-benar habis untuk namja pemikat hatinya itu.

“Key-ah… annyeong…” sapa Eunhee begitu menemukan sosok Key di taman bermain bersama anaknya. Seperti biasa, Key selalu membawa Jin Hae ke taman bemain setiap minggu sore. Biasanya Eunra juga ikut, tapi kali ini ia belum menemukan sosok sahabatnya bersama mereka.

“Yaaa!! Eunhee ya…” sahut Key ramah sambil menggendong anaknya. “Kau di sini? Sedang apa? Bukankah rumahmu jauh dari sini?”

“Ah, aku sedang jalan-jalan saja… bosan terlalu lama di rumah… Eunra mana??” sahut Eunhee berusaha ceria. Eunhee mencubit pipi Jin Hae pelan. Membuat bocah itu tertawa pelan.

“A~ dia sedang membeli es krim sekalian mengirim beberapa berkas di kantor pos tak jauh dari sini…”

“Oh…” Eunhee hanya ber-oh. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku sweeternya dan berusaha tampak tenang, menyembunyikan resahnya.

Sayangnya Key menyadari itu. Bahkan sebenarnya ia tahu semua cerita tentang sahabat istrinya itu. “A~ aku tahu…”

“Ne??”

“Kau pasti sedang mencari Onew hyung…”

“Mwo?? Kau tahu darimana?”

“Hem…” Key hanya tersenyum mendapati Eunhee begitu tertarik saat ia membahas soal kakak kelasnya saat SMP itu. “Ini…” Key menyodorkan selembar kartu bertuliskan nama Onew beserta sederet alamat di bawah namanya.

“Apa ini?” Eunhee mengambil kartu itu dan membacanya.

“Kau temui saja ia di alamat itu… aku yakin ia di sana…” jelas Key dengan nada yakin.

“Gomawo Key-ah…” ucap Eunhee girang.

“Cheonmaneyo…”

“Kalau gitu, aku pergi dulu ya?”

Key hanya mengangguk dan memperhatikan yeoja bertubuh kurus itu hingga jauh. Ia benar-benar prihatin melihat keadaan yeoja itu yang kelihatannya tersiksa.

---

Sebuah rumah minimalis dengan bahan dasar kayu. Letaknya tak jauh dari kantor tempat Onew bekerja sebagai managernya. Designnya sangat indah, sayangnya Eunhee tak pernah dikenalkan pada tempat itu. Sama sekali tak pernah…

Melihat tak ada penjaganya, dan merasa memiliki hak untuk masuk dalam rumah itu, Eunhee membuka pintu pagarnya yang tak terkunci.

“Ia memang ceroboh… Dubuku yang ceroboh sampai-sampai lupa mengunci pintu pagar… he…” Eunhee mencoba sedikit menghibur dirinya dengan mata yang mulai basah.

Rasa rindu itu kembali merebak ke seluruh penjuru hatinya. Menutupi rasa sakitnya ketika harus kehilangan Onew selama beberapa waktu terakhir ini. Dadanya begitu menggebu-gebu tak sabar ingin melihat lagi wajah yang selama ini ia rindukan.

Tak terasa langkah gontai membawanya di tepat di depan daun pintu yang juga tak terkunci. “Dubu cerobohku… kau bahkan lupa mengunci pintumu??” kini kaca-kaca itu mulai meleleh perlahan di setiap sudut mata besar Eunhee. Hatinya benar-benar sudah tak tahan ingin segera menemukan sosok yang ingin sekali ia rengkuh.

Dengan perlahan, Eunhee menjelajahi rumah itu. berjalan mendekati sebuah sumber suara yang kedengarannya berasal dari dalam kamar.

“Yeobo… mianhae… aku terlalu sibuk akhir-akhir ini. Maaf juga atas omongan kasarku kemarin. Aku tak bermaksud mengatakan seperti itu. Sebenarnya… ah… sudahlah… yang jelas aku ingin memberikanmu tiket ini… inilah hasil jerih payahku selama bebrapa hari ini sampai tidak sempat pulang. Aku tahu kau merindukan orang tuamu, bahkan sampai jatuh sakit. Karena kau tak pernah mengunjungi mereka lagi semenjak kita menikah. Semua gara-gara aku yang tak bisa meninggalkan pekerjaanku yang begitu banyak. Maka dari itu… aku berusaha menyelesaikan pekerjaanku selama sebulan kedepan agar aku bisa membawamu mengunjungi orang tuamu…”

Prang… tak sadar Eunhee menjatuhkan ponsel yang ia genggam sejak tadi tepat di depan pintu kamar Onew yang sedikit terbuka. Air mata Eunhee mengalir dengan derasnya. Ia tak bisa lagi membedakan antara sedih dan haru.

Suara gaduh itu tentu saja menarik perhatian Onew yang langsung menoleh ke pintu. Berlari menghampiri dan membuka daun pintu itu lebih lebar.

Dengan jelas, Onew yang memakai kemeja garis hitam abu-abu dengan kancing setengah terbuka itu terbelalak kaget saat menemukan sosok Eunhee di depan pintu kamarnya. Yeoja itu benar-benar kusut, lebih dari 5 hari yang lalu setelah ia tinggal.

“Kau di sini?” tanya Onew yang kehabisan kata-kata.

Tak dapat dipungkiri, yang ada dalam dirinya kali ini hanyalah rasa rindu yang merebak indah. Separuh jiwanya yang hilang serasa telah ia temukan. Dan terlebih, sandiwara itu kini sudah berakhir. Bahkan mungkin sudah berakhir tanpa harus ia akhiri.

Eunhee terdiam. Lidahnya kelu tak dapat mengatakan apapun. Ia begitu terpesona dengan makhluk tampan dihadapannya. Makhluk yang selama ini ia cari dan ia rindukan. Beribu pertanyaan hadir dalam benaknya. Apa mimpi buruk itu sudah berakhir? Apa Dubuku akan kembali seperti dulu?

Lama saling terdiam, akhirnya Onew yang pertama mengambil tindakan. Dengan jantung yang berdegup kencang, ia merengkuh tubuh kurus dihadapannya. Melumat bibir tipis itu. melumatnya dari setiap sudut. Mencoba merasakan lagi kehangatan yang hilang sejak ia meninggalkan makhluk cantik itu.

Kali itu, Onew tak membalas apapun yang dilakukan Eunhee, tapi kali ini, Eunhee justru membalas semua yang dilakukan Onew. Ia pun mencari kehangatan yang sudah lama tak ia dapatkan dari namja tampan itu.

“Hem…” Onew tersenyum. Ia menempelkan keningnya di kening Eunhee. Menangkup wajah cantik yeoja itu di kedua tangannya.

“He…” Eunhee membalasnya dengan tertawa kecil. Ia masih melingkarkan tangannya dipinggang Onew.

“Apa kau mendengar semuanya??” tanya Onew pelan masih dengan senyum dan tatap mata yang hangat.

Eunhee mengangguk pelan. Ia tak ingin melepas tatap mata hangat namja itu dari matanya.

“He… apa aku perlu mengulanginya?”

Kali ini Eunhee menggeleng pelan. “Ternyata selama ini kita hanya salah paham…”

“Ne??”

“Kau tahu karena apa aku sakit hah?”

“Karena kau rindu orang tuamu?” sahut Onew polos dengan menaikkan sebelah alis tebalnya.

“Annii Baby… tapi karena ini…” Eunhee mengambil tangan Onew dan meletakkan di perutnya.

“Mwo??” Onew mengerutkan alisnya tak mengerti.

“Aku hamil…” seru Eunhee girang.

“Jinjja??”

Eunhee menjawab itu dengan anggukan mantap. Ia tersenyum senang.

“Ha…” kini berbalik Onew yang tertawa. Ia merasa malu dengan kesalahpahamannya selama ini. Sekaligus senang karena ia akan memiliki seorang bayi.

“Sudahlah yeobo…” Eunhee menangkup wajah Onew dengan kedua tangannya. “Gomawo…”

“Ne??” bingung.

“Tiketnya…” Eunhee memainkan matanya mengarah ke atas meja.

“Oh… he…”

“Saranghae nae dubu…”

“Na do saranghae…” Onew merengkuh kuat tubuh kurus itu dengan penuh kehangatan.

TAMAT

Wah… maaf ya Vi kalo gaje n kurang romantis, namanya juga author amatiran

kekeke

tadinya mau disambung lagi, tapi kepanjangan, ga jadi dh, kekeke

The last message…

Happy birthday Vivi!!!

Moga apa yang kamu impikan selama ini, semuanya cepet terkabul…

Ammiinn… ^_^

Sabtu, 05 Maret 2011

Prince Lee Jin Ki-1shot

Title : Prince Lee Jin Ki

Length : 1/1

Author : Dita Rachmawati (DR Rara)

Cast :

- Park Yong Jin

- Lee Jin Ki (SHINee)

Rating : PG13

Namaku Park Yong Jin. Umma memberikanku kalung dengan ukiran hangul nama itu di leherku. Katanya, supaya aku dapat selalu mengingat nama gadis cantiknya. Karena memakai kalung itu, akhirnya aku jadi dipanggil Park Yong Jin. Tapi, sampai detik ini, aku masih tidak tahu siapa gadis cantik milik ibu. Karena yang kutahu, ibu hanya memiliki aku. Dan setiap kali aku menanyakan tentang hal itu padanya, ia hanya tersenyum sambil mengusap wajahku dan memeluk tubuhku erat-erat.

Aku memiliki kelainan mental sejak lahir. Dan sampai detik ini, aku tidak tahu siapa itu mental, kenapa ia membuat aku dianggap berbeda oleh teman-temanku. Kurasa seseorang bernama mental itu jahat. Mungkin ia juga yang menyebabkan mataku mengeluarkan air dan sesuatu dalam tubuhku terasa sangat sakit saat semua teman-temanku mengejekku.

Oia, Umma pernah berpesan padaku, “Jinnie, kamu yang kuat ya sayang!! Jangan pernah menangis apapun yang terjadi… karena kalau kamu tidak menangis, itu tandanya kamu yeoja yang kuat dan tidak terkalahkan… kamu tahu Cinderella?” aku mengangguk. “Seorang putri itu harus kuat dan tidak terkalahkan agar dia bisa mendapatkan seorang pangeran yang baik dan tampan. Kamu mau ‘kan seperti Cinderella?”

“Ne…” sahutku dengan penuh semangat saat itu.

Ibu kembali memelukku dan menenggelamkan wajahku di perutnya. Ada sesuatu yang kudengar dari dalam dada ibu. Seperti suara anak anjing yang cegukan. Dan setelah kulihat wajah ibu, ternyata mata ibu berair. Ibu terus mengusapnya berulang-ulang. Tapi air mata itu tetap jatuh, sampai-sampai aku ikut membantunya.

Dan saat itu aku tahu, bahwa air yang keluar dari mata diiringi sesuatu yang terasa sakit dalam tubuh disebut menangis. Dan aku mulai meninggalkan itu sejak ibu melarangku melakukannya.

Beberapa minggu setelah hari itu, seorang Ahjumma pernah berkata padaku, “Jinnie, kau harus kuat ya? Biarpun ibumu pergi meninggalkanmu di usiamu yang baru 9 tahun, tapi kau harus kuat, kau harus mandiri. Kau pasti bisa sayang…” tuturnya dengan suara yang bergetar dan menangis. Ia memelukku erat-erat sambil membawaku ke sebuah rumah.

Rumah yang sangaaat besar. Aku sampai harus mendongakkan kepalaku untuk melihatnya. Ada pohon yang besar di balik sebuah tembok raksasa yang menutup habis rumah itu. Ahjumma mengetuk tembok raksasa itu kencang-kencang, lalu ia menunduk menatapku.

“Jinnie, kau diam di sini ya? Kau tidak boleh nakal. Ikutilah semua kata-kata Umma barumu…” lalu ia mecium keningku dan pergi begitu saja meninggalkanku yang masih kebingungan.

Umma baru? Apa maksud Ahjumma, Umma tinggal di rumah baru ini? Makanya disebut Umma baru?

Tidak lama, seorang Ahjumma lain keluar. Ia memakai penutup kepala berwarna putih dan sebuah baju yang mirip dengan suster-suster. Ada kemoceng bulu ayam di tangan kirinya.

“Kau siapa?” tanyanya dengan wajah yang berkeriput.

“Park Yong Jin imnida…” aku memperlihatkan kalung yang Umma berikan.

“Park Yong Jin…” Ahjumma itu mensejajari tingginya denganku. “Apa kau yang mengetuk pintu ini tadi?”

Aku hanya menggeleng. Dari balik tubuh Ahjumma yang gemuk itu, aku melihat seorang namja dengan mata yang sipit dan kulit yang putih. Ia membawa sebuah buku berwarna biru. Aku suka warna biru. Aku ingin memiliki buku itu.

Lalu Ahjumma membawaku masuk ke dalam rumah itu. ternyata rumah itu mirip sekali dengan kerajaan yang sering Umma ceritakan sebelum aku tidur. Mungkin Umma sekarang sedang bersama dengan pangeran dan putri Cinderella di dalam.

Tapi sampai dihadapan kursi besar, aku tak juga menemukan Umma ataupun Putri Cinderella ataupun pangeran.

“Nyonya… Mianhae… saya menemukan gadis ini di luar. Sepertinya ada seseorang yang membuangnya, dan sepertinya dia mengalami gangguan mental. Karena saya tidak tega, makanya saya membawanya masuk…” kata ahjumma itu sambil berlutut. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Yang aku tahu, ada seorang penyihir yang duduk di kursi besar itu sambil memegang cangkir yang berasap.

Sesaat kemudian, penyihir itu bangkit dan berteriak-teriak. Aku benci suara keras. Jadi aku berlari kebawah selimut yang di gantung di hadapan jendela dan menutup kedua telingaku agar aku tidak mendengarnya.

Tiba-tiba namja yang membawa buku biru tadi menghampiriku. Ia memeluk tubuhku erat-erat sama seperti umma.

Ya… aku baru ingat. Umma dimana?! Apa penyihir itu telah menculik Umma?!

Lalu aku berlari mendekati penyihir menyeramkan itu. Ia menendang-nendang tubuh ahjumma keras-keras hingga ahjumma menangis.

“KAU PENYIHIR JAHAT!!! DIMANA KAU SEMBUNYIKAN UMMA!!” penyihir itu menatapku dengan tatapan marah dan jijik.

“Ummamu? Mana kutahu!!” jawabnya dengan suara yang jelek.

Ternyata benar, penyihir itu sudah menculik Umma dan dia membuang Umma sampai-sampai ia lupa dimana Umma berada.

“DASAR KAU PENYIHIR JAHAT!!” aku menggigit kaki penyihir itu kuat-kuat hingga ia terjatuh dan tersungkur lalu tertidur.

Setelah hari itu, aku dan namja yang memelukku seperti Umma jadi tinggal bersama tanpa penyihir itu di istana. Ahjumma yang waktu itu dipukuli penyihir, kini aku tak melihatnya lagi.

Mulai saat itu, aku banyak menjalani hari bersama namja yang pernah mengenalkan namanya. “Lee Jinki imnida…”. Ya… Jinki… aku senang berada di dekatnya. Dia selalu mengajariku bermain piano. Ya… piano, sebuah mesin besar yang jika ditekan bisa mengeluarkan suara yang sangat indah ditelingaku.

Aku juga suka pada Ahjussi yang kini aku panggil Appa. Appa selalu membelikanku cokelat berbungkus biru kesukaanku. Aku suka warna biru. Dan semua mainan Jinki yang berwarna biru selalu ia berikan padaku. Makanya aku sayaaaang sekali pada mereka. Mereka selalu membuatku tertawa.

Appa bilang, usiaku sekarang sudah menginjak angka 25. Biasanya setiap aku berulang tahun, aku akan diberikan hadiah dan kue berwarna biru. Lalu ada balon-balon yang juga berwarna biru. Lalu ada kotak-kotak berwarna biru. Dan ada banyaaak sekali teman-teman yang memakai baju berwarna biru.

Tapi kali ini, aku tak mendapatkan itu. Kata Appa, Appa tidak bisa merayakan hari ulang tahunku kali ini, karena Appa harus bekerja ke tempat yang jauh dan baru akan pulang besok lusa.

Maka hari itu aku hanya berdiam diri di kamar. Aku tidak marah, aku hanya merasa kesepian.

Tiba-tiba saja Jinki mengetuk pintu kamarku dan membawaku keluar. Langitnya tampak hitam. Aku berusaha mengingatkannya. “Jinki Oppa, kata Appa kita tidak boleh keluar malam-malam…”

Tapi ia tidak mendengarku. Ia malah terus membawaku keluar. Jauh dari pintu istana. Jauh dari tembok raksasa. Ia mengajakku ke taman bermain yang terdapat banyak api dimana-mana.

Sebelumnya aku merasa takut, tapi Jinki kembali memelukku dan menjelaskan bahwa semua api itu tidak berbahaya. Mereka semua disebut lilin. Mereka yang akan menemani kita dalam gelap.

Lalu Jinki mengajakku menggoyangkan kakiku sambil dipeluk olehnya. Ia sebut itu dengan berdansa. Dan lihatlah… semua lilin-lilin itu juga ikut menari. Kurasa lilin adalah barang kedua yang kusukai selain warna biru.

Tapi tiba-tiba, ada sesuatu yang berhembus kencang sekali meniup sekujur tubuhku. Rasanya ngilu saat kulitku tersentuh olehnya. Dan tiba-tiba semua lilin-lilin itu berhenti menari. Jinki juga ikut berhenti menari. Kini taman bermain itu menjadi gelap gulita. Yang bisa kulihat hanya wajah Jinki yang terlukis besar dimataku.

“Pejamkan matamu Yong Jin aah…” pintanya dengan suara yang berat.

“Apa semua lilin itu akan kembali jika aku pejamkan mataku?” tanyaku padanya.

“Pejamkanlah, kau akan tahu semuanya…” sahutnya.

“Ne… Arasso…” sahutku lagi yang langsung memejamkan kedua mataku rapat-rapat.

Tiba-tiba aku merasakan kedua tangan Jinki memeluk tubuhku erat. Begitu hangat. Ia mengusir hembusan-hembusan yang membuat tubuhku terasa ngilu. Dan… kurasa ia menciumku, tapi bukan di kening seperti yang biasa Umma lakukan padaku. Ia mencium bibirku.

Aku tak pernah merasakan itu sebelumnya.

“Bukalah matamu Yong Jin…” ternyata semua itu sudah berakhir.

Aku membuka kedua mataku pelan-pelan. Ada sebuah cahaya yang sangat terang dari sebuah lingkaran putih dengan batu yang bersinar di atasnya.

“Apa kau mau menikah denganku putri Yong Jin?” tanya Jinki sambil berlutut di hadapanku.

Kedua matanya bersinar sangat indah. Dan aku merasakan ada sesuatu yang terasa ingin meledak dalam tubuhku. Apa itu bom?

Tunggu… menikah? Bukankah itu yang ditanyakan pangeran pada putri Cinderella? Kenapa Jinki mengikuti kata-kata pangeran dan mengganti nama putri Cinderella dengan namaku?

“A~ aku bukan putri Cinderella Oppa…” sahutku membuatnya tersenyum.

Lalu ia bangkit dan mengajakku duduk di bangku taman di bawah sebuah pohon yang sangaaat besar.

“Kau tahu siapa itu Park Yong Jin?”

“Ne, itu namaku dan nama gadis cantiknya Umma…”

“Park Yong Jin adalah nama seorang putri. Dia sangat cantik, sama seperti kata Ummanya. Apa kau pernah mendengar ceritanya?”

Aku menggeleng.

“Sekarang aku akan menunjukkan siapa itu putri Park Yong Jin…” Jinki mengeluarkan sebuah benda berbentuk bulat pipih dari dalam saku jaketnya dan menghadapkannya ke wajahku. “Apa kau melihat putri Park Yong Jin?”

“Annii… aku hanya melihat wajahku…”

“Itulah putri Park Yong Jin. Gadis cantik yang dimaksud Umma adalah kau. Dan kau tahu, setiap putri pasti akan mendapatkan pangerannya masing-masing…” Jinki kembali berlutut di hadapanku.

Aku terdiam sejenak mencoba mencerna semuanya. Berarti gadis cantik yang sering Umma puji-puji selama ini adalah… aku… dan aku adalah seorang putri… berarti aku sama seperti Cinderella. Bukankah putri akan mendapatkan pangeran? Selama ini aku ‘kan tidak pernah menangis. Apa pangeranku adalah Jinki Oppa?

“Apa kau mau menikah denganku Putri Yong Jin?”

Aku memutar memoriku mengingat cerita Cinderella yang sering Umma bacakan sebelum aku tidur. Aku mencoba mengingat akhir dari cerita itu.

Ya… maka aku mengambil cincin itu dan mengajak Jinki untuk bangun. Lalu, aku mencium bibir Jinki lekat-lekat dan memeluknya erat-erat. Akhirnya kami hidup bahagia bersama selamanya…

Terima kasih Umma telah menjadikanku seorang putri… aku berjanji akan menjadi putri yang baik seperti Cinderella…

Kurasa aku selama ini sudah cukup kuat. Dan pangeran Jinki adalah kado yang paling kusukai selain dari warna biru dan lilin. Kurasa Jinki ada diurutan pertama. Karena dia yang paling indah yang pernah kutemui… dan dia mengajarkanku lebih banyak dari Umma tetang putri bahwa putri tidak hanya Cinderella, tapi juga Putri Park Yong Jin… hahahaha…

-End-