Minggu, 27 Februari 2011

Bad Women Part 2

Part 2

“YES!!” teriak Dong Woo girang sambil membanting tubuhnya ke atas sofa. “Kau memang jenius Paman… baru sekali kuperkenalkan pada tamu-tamu undangan itu, sudah dapat satu tawaran untuk menjadi seorang penyanyi…” ceritanya dengan senyum puas.

“Ya, kau benar... tapi ngomong-ngomong gadis yang tadi itu ikut berpengaruh juga dalam keberhasilan Tuan muda ini…” jelas Min Seop yang mengingatkan kembali pada gadis pemalu itu.

“Astaga… aku lupa… bukankah aku sedang mencarinya sebelum dihadang Kim Soo Ro…” Dong Woo menepuk keningnya menyesali kekhilafannya.

“Jadi Tuan muda mencarinya?”

“Iya, tadi aku sempat mencarinya, hanya saja aku lupa setelah Soo Ro menghadangku di tengah jalan.” jelas Dong Woo dengan nada kecewa.

“Kenapa Tuan muda mencari gadis itu? Bukankah selama ini Tuan muda sangat tidak peduli pada orang lain terutama pada wanita?” tanya Min Seop polos dengan tampang heran.

“Entahlah…” Dong Woo berbalik badan membelakangi pengasuhnya itu. “Mungkin karena usiaku…” sahut Dong Woo dengan senyum nakal.

“Ya, tentu saja, usia 20 tahun sudah cukup matang untuk memiliki seorang kekasih…” sahut Min seop dengan senyum nakal pula.

Lalu mereka sama-sama meneguk kembali segelas anggur hitam yang membuat mereka setengah mabuk.

“Kau siapa? Kau pasti orang yang sudah menculik Seok Jin dan meracuninya agar ia tidak mengenaliku lagi…” ungkap Dong Woo dengan tangan yang menggenggam jemari Seok Jin erat-erat.

“Apa yang kau lakukan pada anakku? Justru kau yang siapa! Beraninya merebut anakku. Awas kau… minggir…” sahut ibu tua itu kesal sambil mendorong-dorong tubuh Dong Woo.

“Tidak...” Dong Woo malah menarik tangan Seok Jin membawa gadis itu menjauhi ibu tua yang berusaha merenggut Seok Jin dari genggaman Dong Woo. “Aku Han Dong Woo, sahabat kecil Seok Jin, kau siapa? Beraninya mengakui ia sebagai anakmu!” tantang Dong Woo berani.

“Apa? Ka… kau… kau… Han Dong Woo?” tiba-tiba ibu tua itu terlihat kaget. Matanya membulat dan mulutnya menganga.

Sep… Dong Woo membuka matanya dengan refleks. Nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya basah dipenuhi dengan peluh. Tangan dan kakinya dingin. Ini ke 23 kalinya ia memimpikan hal yang sama selama lima bulan terakhir semenjak terakhir ia memimpikan hal yang serupa dan menemukan Azumiya. Hidupnya terasa seperti dikejar-kejar. Membuat ia merasa tak tahan lagi.

“Aaarrrgghh…” ia kembali berteriak dengan nada menggerutu.

Tiba-tiba saja matanya terasa perih. Terasa seperti diperas. Membuat bantalnya basah dipenuhi air mata. Hatinya terasa sangat sakit seperti dipaksa untuk menahan sesuatu.

Dan Dong Woo kini seperti orang yang sakau. Sangat membutuhkan penawar rasa sakitnya. Tapi sayangnya ia tak tahu dimana ia bisa menemukan penawar dari rasa sakitnya yang juga tak jelas sebabnya.

“Park Seok Jin…” panggilnya lirih sambil kembali memejamkan mata dan menarik nafasnya dalam-dalam. Merasakan seberapa kosong rongga dalam hatinya yang sama sekali tak pernah tersentuh oleh wanita lain.

Dong Woo yang sekarang, bukanlah seorang Dong Woo yang dulu. Sekarang namanya terdaftar sebagai salah satu vokalis yang terkenal di Korea. Ia berdiri dengan bantuan ketiga temannya yang mengisi sebagai pemain alat musik dalam bandnya yang mulai melejit dengan nama “1LOP”.

Tidak hanya itu, popularitas Dong Woo juga tak kalah mengganggu hidupnya yang tadinya tak pernah tersentuh oleh wanita. Sekarang ia sering mendapat tawaran untuk melakukan seks bebas setelah ia berteman dengan seorang playboy yang berperan sebagai penabuh drum dalam bandnya. Untungnya Dong Woo masih dapat menjaga alam sadarnya sekalipun ia telah meneguk 4 gelas alcohol hampir setiap malam.

Tapi jauh dibalik semua kesenangan itu, ada masalah yang menuntut Dong Woo hingga ia harus meneguk 4 gelas alkohol tiap malam. Yakni masalah tentang keluarga besarnya yang menuntut ia untuk memimpin ke-5 rumah sakit dan ke-15 apotek yang diwariskan padanya oleh almarhum kedua orang tuanya. Dan menjadi seorang penyanyi tentulah sebuah masalah besar untuk masa depannya yang dituntut untuk menjadi seorang sarjana kedokteran. Sedang ia selalu menolak untuk menerima mata kuliah kedokteran. Ia lebih memilih gelar musisinya dari pada sarjana.

Karena itulah ia tak menjalin hubungan akrab dengan bibinya.

“Kau harus segera menyelesaikan kuliahmu agar dapat segera mengambil alih seluruh rumah sakit dan apotek yang diwariskan oleh orang tuamu.” tuntut Min Ji dengan kasar di meja makan.

“Aku tidak akan pernah menuruti apa yang tidak kukehendaki.” sahut Dong Woo jauh lebih dingin dan kasar. Bahkan Dong Woo bicara tanpa menoleh pada wajah Min Ji sedikitpun. Ia sibuk menyantap roti bakar cokelat kesukaannya.

“Bukankah egois namanya bila hanya memikirkan diri sendiri?” sindir Min Ji yang membuat suasana sarapan pagi itu terasa sangat panas.

“Bukankah terlalu ikut campur bila terlalu mengurusi hak orang lain yang sudah seharusnya ia terima?” balik Dong Woo.

“Tapi ini demi keuangan keluarga kita juga serta untuk menjaga harta warisannya”

“Kau pikir aku peduli pada orang yang selama ini tidak pernah mempedulikanku?”

“Kau sungguh keras kepala!”

“Seharusnya kau segera bersuami agar kau tak repot-repot lagi mengurusi urusan pribadiku…” jelas Dong Woo membalasnya yang langsung bangkit setelah menghabiskan sepotong roti.

“Dong Woo…” Min Ji mencoba untuk mencegahnya, tapi Dong Woo terlalu acuh padanya.

Hari ini, Dong Woo menyengajakan untuk mengunjungi salon yang dulu pernah ia kunjungi saat ia pertama kali memperkenalkan dirinya sebagai seorang penyanyi.

Ia berniat untuk menemui gadis pemalu yang pernah menemaninya bernyanyi dulu. Beberapa pekan terakhir ini Dong Woo memang sering menjumpai gadis itu sambil mencuci rambutnya atau mengganti model rambut. Tapi tak lain hanyalah untuk mendekati gadis yang benar-benar membuatnya tertarik itu.

“Permisi…” Dong Woo memberi salam pada penjaga lobi yang langsung mengerti siapa yang lelaki itu cari.

“Ah kau… Azumiya hari ini tak masuk kerja, kabarnya ia sedang sakit…” jelas wanita penjaga lobi itu dengan wajah prihatin.

“Sakit?” tanya Dong Woo dengan nada setengah naik.

“Ya, sudah dua hari ini ia tidak masuk kerja…” jelas wanita itu datar.

“Apa aku bisa minta alamatnya?”

“Aku tidak tahu dimana alamatnya. Karena Azumiya orangnya terlalu tertutup, kita jadi malas mendekatinya apalagi untuk sekedar mengetahui alamatnya…”

“Apa alamatnya tidak tertera di daftar biodata pegawai?”

“Tidak, kami juga bingung. Hanya biodatanya saja yang tidak ditampilkan secara lengkap. Sepertinya ia memiliki hubungan khusus dengan pemilik Salon.” jelas wanita itu polos.

“Jika kau mau, aku bisa memberikan alamatnya padamu…” tiba-tiba Seo Hyun angkat bicara dari balik koridor.

Dong Woo membalik tubuhnya untuk menoleh pada pemilik suara itu serentak dengan wanita penjaga lobi yang ikut menoleh pada Seo Hyun.

“Kau ingin tukar dengan apa agar aku bisa mendapatkannya?” serbu Dong Woo yang langsung mengerti apa maksud Seo Hyun.

“Kuperhatikan sejak awal, kau terlihat tertarik pada Azumiya. Ditambah lagi beberapa pekan terakhir ini kau terlihat sering mengunjungi salon ini hanya untuk menemuinya. Apa kau benar tertarik pada gadis misterius itu?” Seo Hyun membuka percakapan sambil menikmati ice cream yang Dong Woo belikan atas permintaannya.

“Apa aku perlu membahas itu hanya untuk sebuah alamat?” balas Dong Woo dingin yang duduk diam di sisi Seo Hyun sambil membuang pandangannya ke depan.

“Apa kau tahu bahwa Azumiya bukanlah wanita baik-baik seperti apa yang kau pikirkan?” tambah Seo Hyun lagi tanpa menghiraukan jawaban Dong Woo. Ia menatap lelaki tampan itu lekat-lekat.

“Apa aku harus peduli?” balas Dong Woo lagi masih kasar.

“Asal kau tahu, ia sebenarnya seorang pembunuh…” Seo Hyun menajamkan nada bicaranya dan mendekatkan bibirnya ke daun telinga kanan Dong Woo. Dong Woo sedikit merasa tersentak mendengar penjelasan Seo Hyun yang menyudutkannya untuk mengingat seseorang yang selama ini berusaha ia lupakan.

“Ingatannya hilang setelah ia membunuh kedua orang tuanya dan kedua orang tua sahabat kecilnya. Karena hal itu, akhirnya ia terbebas dari hukuman. Dan ia diangkat anak oleh bibinya yang memiliki keturunan Jepang. Demi menyembunyikan jati dirinya yang seorang pembunuh, namanya di ubah menjadi Azumiya Dara. Akte kelahirannya dipalsukan, dan namanya di masukkan dalam daftar kartu keluarga bibinya itu. Akhirnya sampai detik ini tak ada satupun orang yang mengetahui siapa sebenarnya gadis itu…” jelas Seo Hyun panjang lebar.

Dong Woo terdiam. Matanya membelalak. Dalam benaknya, terputar jelas kejadian terakhir saat ia harus kehilangan Seok Jin. Wanita tua itu memanggilnya Dara. Dan yang Min Seop jelaskan padanya tentang Seok Jin, sebuah kenyataan bahwa Seok Jinlah yang membunuh kedua orang tuanya…

Flashback on

“Tuan muda… Tuan muda…” tiba-tiba Min Seop memeluk tubuh Dong Woo dari belakang dengan wajah yang penuh rasa bersalah. “Aku mohon Tuan muda… dengarkanlah saya…” pelas Min Seop membuat Dong Woo terpaku. “Tolong Tuan muda jauhi dia… tolong lupakan dia…” pinta Min Seop dengan sangat memelas.

“Maksud Paman apa?” tanya Dong Woo yang tak mengerti dengan sikap pengasuhnya yang tidak biasanya itu.

“Itu karena… karena…”

“Karena apa Paman?!” potong Dong Woo dengan nada membentak.

“Karena Seok Jin lah… yang… membunuh kedua orang tua Tuan muda…” jelas Min Seop dengan penuh rasa bersalah dan terpaksa.

“APA??” Dong Woo langsung melepas pelukan Min Seop di tubuhnya dan berbalik menatap pengasuhnya itu.

Min Seop menunduk. Bahkan hingga tubuhnya jauh lebih rendah dari tubuh Dong Woo yang setinggi 100 Cm. Ia merasa sangat bersalah setelah mengatakan itu.

“Apa maksudmu dengan semua itu? Apa? APA??” Dong Woo menggoncang-goncangkan tubuh Min Seop kuat-kuat menagih jawabannya.

“Di hari ulang tahun Tuan muda, Seok Jin melanggar perintah ibunya untuk tidak bermain di tempat bakar barbeque. Gadis itu bermain petak umpet di sana. Dan ia membuat bocor tabung gas yang tak sengaja terputar. Menyadari adanya ketidakberesan dengan bau gas yang menyengat, kedua orang tua Tuan muda pergi memeriksanya dan meninggalkan Tuan muda yang asyik bermain dengan teman Tuan muda yang lain. Kedua orang tua Seok Jin juga ikut membantu memeriksa ketidakberesan tersebut. Tapi dalam hitungan detik tiba-tiba tabung gas itu meledak dan membakar kedua orang tua Tuan muda dan Seok Jin. Tuan muda dan Seok Jin ikut terlempar karena ledakan itu. Dan terakhir kabar yang saya dengar, Seok Jin mengalami amnesia dan diadopsi oleh keluarga bibinya. Jadi, dia bukan diculik, melainkan sengaja dijauhkan dari Tuan muda agar Tuan muda dapat melupakannya…”

Flashback end

“Apa kau masih tidak peduli?” tanya Seo Hyun mengkoyak lamunan Dong Woo. Ia tahu betul bahwa Dong Woo berhasil masuk dalam perangkapnya.

Dong Woo tiba-tiba menoleh pada gadis cantik itu. Matanya masih membelalak. Sekalipun wajahnya selisih beberapa cm saja dari wajah gadis itu.

“Darimana kau tahu tentang semua itu?” Dong Woo masih berusaha menahan emosinya. Ia sudah menyadari dari awal ada yang tidak beres dengan gadis ini.

“Kenapa? Bukankah kau tidak peduli? Dong Woo yang angkuh…” sahutnya dengan tatapan yang berubah tajam.

“Siapa kau?”

“Bukankah kau sudah mengenalku?”

“Siapa kau?” kali ini Dong Woo mulai main cara kasar. Ia mencengkeram dagu Seo Hyun kuat-kuat.

“Aku Song Seo Hyun. Aku wanita yang pernah dijodohkan oleh bibimu denganmu. Hingga akhirnya kau menolakku sebelum bertemu dan bibimu memintaku untuk memata-mataimu dan Seok Jin agar ia dapat memastikan bahwa kau tidak memilih seorang pembunuh untuk menjadi istrimu” jelas Seo Hyun dingin dengan tatap mata yang jahat.

Dong Woo melepas wajah gadis itu dengan kasar. “Jadi kau yang menyembunyikan biodata Azumiya Hah? Sekarang katakan dimana tempat tinggalnya?!” paksa Dong Woo yang kini berdiri di hadapan gadis itu dengan tangan terkepal yang siap menghabisinya.

“Kenapa? Bukankah seumur hidupmu kau tidak pernah peduli pada wanita?” Seo Hyun pun turut bangkit. Ia menjatuhkan ice cream di tangannya dengan sengaja. Membusungkan dada pertanda ia sanggup melawan lelaki bertubuh tegap dihadapannya itu.

“Cepat katakan!!” paksa Dong Woo yang mengepal tangannya makin kuat.

“Aku lebih memihak bibimu daripada lelaki angkuh sepertimu!” lawannya sambil membuang ludah bahwa ia benar-benar akan merahasiakan semuanya.

Dengan ubun-ubun yang terasa mendidih, Dong Woo menarik kerah baju wanita itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi hingga wanita itu tak bisa bernafas.

Seo Hyun berusaha menendang-nendang kaki Dong Woo, hanya saja oksigen yang tak sampai ke paru-parunya membuat ia melemah.

“Katakan sekarang atau tidak!” ancam Dong Woo dengan nada datar dan dingin.

“Ba… baiklah…”

Dorr dorr dorr!! Dong Woo mengetuk kamar Min Seop kuat-kuat. Matanya merah berapi-api. Ubun-ubunnya terasa mendidih. Keringat terus mengalir deras di dahinya.

“Paman!! Paman!! Cepat buka pintunya!!” bentak Dong Woo di tengah malam yang seharusnya sepi.

Tak lama Min Seop membuka daun pintu kamarnya. Penampilannya sungguh kusut. Menandakan bahwa ia baru saja terbangun dari tidurnya.

Tiba-tiba Dong Woo menarik kerah piama Min Seop kuat-kuat. Mendekatkan wajahnya dengan bibir yang siap-siap mengeluarkan banyak makian.

“Apa maksud Paman membawaku ke salon itu hah? Apa paman ikut bergabung dengan Bibi untuk menyiksaku dengan bayang-bayang Seok Jin?!” dengan urat leher yang tersirat jelas Dong Woo membentak lelaki yang sudah separuh baya dan berkumis putih itu.

“Te… tenang Tuan muda… kta bisa membicarakannya secara baik-baik…” sahut Min Seop dengan wajah yang ketakutan.

“Apa lagi yang bisa kau jelaskan hah?!!” bentak Dong Woo lebih keras.

“Mohon maaf Tuan muda… Tuan muda telah salah paham terhadap saya…”

“Sa… saya sama sekali tidak ada niat untuk bergabung dengan nyonya Min Ji, Tuan muda… jus… justru saya sangat ingin menolong Tuan muda…” jelas Min Seop dengan wajah yang tertunduk penuh rasa bersalah.

“Menolong dengan cara apa maksud Paman?” tanya Dong Woo masih panas.

“Semenjak Tuan muda kehilangan Seok Jin, saya terus berusaha untuk mencari tahu tentang keberadaan gadis itu. Jujur, saya merasa sangat sedih saat harus melihat Tuan muda terpisahkan dengan sahabat kecil Tuan muda yang sangat Tuan muda sayangi. Hingga akhirnya saya menemukan lagi Seok Jin satu sekolah dengan keponakan saya dan sekarang bekerja di tempat kursus keponakan saya. Makanya saya membawa Tuan muda ke sana, hanya saja, saya belum berani untuk membongkar siapa gadis bernama Jepang itu sesungguhnya…” jelas Min Seop panjang lebar.

“Jika memang begitu, lalu kenapa Paman tidak juga memberitahuku siapa Azumiya sesungguhnya?”

“Itu karena… karena saya ingin melihat kalian kembali bersatu seperti dulu. Karena saya tahu, jika identitas Azumiya terbongkar dan berita itu jatuh ke tangan Nyonya Min Ji, maka nasib Azumiya akan kembali terancam. Maka dari itu, saya tetap merahasiakannya dari Tuan muda…” sahut Min Seop lagi dengan dahi yang masih berkerut.

Dong Woo terpaku. ‘Benar juga apa yang dipikirkannya…’ gumamnya dalam hati.

“Justru saya merasa sangat senang saat melihat sikap Tuan muda berubah setelah mengenal Azumiya. Tuan muda jauh lebih ramah pada orang lain. Sama seperti Tuan muda yang dulu sebelum kecelakaan itu terjadi…”

Flashback on

“Hai Paman! Bagaimana kabarmu hari ini?” sapa Dong Woo sebelum sarapan pagi.

“Ba… baik Tuan muda…” sahut Min Seop bingung. Ia benar-benar terkejut melihat sikap Dong Woo yang tiba-tiba berubah. Bahkan kini ia sering bernyanyi dengan senyuman di bibirnya, sekalipun lagu yang ia bawakan bernada sedih.

“Tu… Tuan muda…” panggil Min Seop sambil mengejar langkah seribu Dong Woo yang menuju ruang makan.

“Ya Paman?” sahutnya yang langsung berhenti dan berbalik.

“Bolehkah saya bertanya sesuatu pada Tuan muda?”

“Yap, tentu. Apa apa?”

“Apa jepit rambut ini milik kekasih Tuan muda?” Min Seop menunjukkan sebuah jepit rambut mini yang sangat cantik dengan ukiran bunga mawar di ujungnya.

“Oh…” Dong Woo meraih jepit rambut itu dan ia perhatikan lekat-lekat. Tak lama senyuman manis berkembang di bibir tipisnya. “Ha… ini milik Azumiya… aku sengaja menyimpannya sebagai koleksi barang berhargaku…” sahut Dong Woo sambil memasukkan jepit itu ke dalam saku kemejanya. “Terima kasih Paman telah menyimpannya…” ucap Dong Woo manis sambil melangkah pergi setelah mendapat tundukkan Min Seop seolah berkata ‘sama-sama’.

Flashback end

“… Tuan muda sungguh seperti kembali seperti dulu yang selalu menjadikan barang-barang Seok Jin yang ketinggalan sebagai koleksi barang berharga Tuan muda… saya sungguh senang melihatnya…”

Dong Woo terdiam. Ia justru berpikir. Bukankah kebiasaannya dari kecil adalah mengoleksi barang Seok Jin yang ketinggalan dan menyimpannya sebagai barang berharga miliknya. Dan ia lakukan hal yang sama pada Azumiya. Kenapa ia bisa tidak menyadari bahwa orang yang selama ini ia cari-cari ada di depan matanya?! Ia merasa terlalu sibuk dengan perasaannya sendiri sampai tak bisa memikirkan hal tersebut.

“Azumiya… Azumiya…” Dong Woo menggedor daun pintu sebuah rumah kecil kuat-kuat. Jantungnya berdegup jauh lebih cepat dengan hati yang tak tenang dan tertekan. “Azumiya… buka pintunya…” pintanya setengah berteriak.

Dari dalam kamar, Azumiya tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya mendengar suara gaduh yang timbul dari ruang tamu. Sepertinya ada seseorang yang mencarinya.

Dengan sempoyongan Azumiya turun dari ranjang dan berjalan lamban menuju daun pintu ruang tamu.

“Sebentar…” sahut Azumiya lemah.

Tak lama daun pintu terbuka dan tiba-tiba saja Azumiya mendapat pelukan yang sangat erat dari orang yang tak sempat ia lihat wajahnya. Pelukan itu jauh lebih erat dari semua pelukan yang pernah ia rasakan seumur hidupnya.

Sebelum Azumiya menarik diri dari pelukannya, Dong Woo sudah lebih dulu melepas pelukan itu. Ia menatap wajah pucat Azumiya lekat-lekat.

“Dong Woo… ada apa? Mengapa pagi-pagi begini kau tiba-tiba datang dan memelukku?” tanya Azumiya bingung.

“Aku dengar kau sakit sejak 3 hari yang lalu. Aku merasa khawatir, jadi aku menemuimu…”

“Jadi, kau tinggal dengan siapa selama ini?”

“Sebelumnya aku tinggal bersama ibuku. Tapi sejak 3 tahun yang lalu, Ibu meninggal menyusul Ayahku. Jadi aku hanya tinggal sendiri…”

“Maaf bila aku…”

“Tak apa. Itu hanya sebuah masa lalu.” Azumiya tersenyum. Ia memberi Dong Woo secangkir teh hangat.

“Ehm, Azumiya, ngomong-ngomong tentang masa lalu, apa kau punya teman baik semasa kecilmu?” Dong Woo mencoba untuk memancing Azumiya agar mengingat masa lalunya.

“Teman semasa kecil?” Azumiya terlihat berpikir keras. “Kurasa tidak… ah, ya… aku lupa memberitahumu, kata ibuku, aku pernah mengalami gegar otak karena kecelakaan, jadi aku tidak ingat semua tentang masa laluku…” jelas Azumiya sambil menatap ke arah lain.

“Azumiya…” Dong Woo merencanakan sesuatu setelah beberapa lama mereka terdiam. Ia kembali teringat pada impian Azumiya yang pernah mereka bahas beberapa waktu yang lalu…

Flasback on

“Azumiya… apa kau punya impian yang belum pernah kau capai sampai detik ini?” tanya Dong Woo sambil memejamkan mata saat Azumiya mencuci bersih rambutnya.

Azumiya terdiam sebentar. Ia membulatkan matanya yang indah. “Ya… ada…”

“Apa itu?”

“Aku… aku ingin bertemu dengan seorang Pangeran, agar aku bisa dibawanya ke istana dan aku menjadi permaisurinya…”

Flashback end

“Aku ingin membawamu ke suatu tempat…” ajak Dong Woo langsung bangkit dan menarik tangan Azumiya lembut.

“Kemana?”

“Ke tempat impianmu…”

“Wah… apa ini benar-benar rumahmu?” Azumiya terkagum-kagum melihat kemegahan istana Dong Woo yang memang tak sering terumbar di media. Karena ia paling anti mempublikasikan segala sesuatu yang berbau milik orang tuanya.

Azumiya terdiam sejenak saat menyadari tak ada respon apa-apa dari Dong Woo yang semula seingatnya berada di belakangnya. Begitu berbalik… “Dong Woo…” Azumiya terkaget mendapati sosok Dong Woo tak ada lagi di belakangnya. “Dong Woo…” panggilnya lagi sambil berlari kecil ke dekat pintu gerbang yang semula ia masuki.

Ia tengok kanan-kiri. Ke arah bagasi, ia hanya menemukan mobil yang tadi membawanya ke tempat itu. Ke dalam mobil, ia intip melalui kaca, sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan. ‘Dimana dia? Kok aku ditinggal sendirian…’ gumam Azumiya bingung sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal sama sekali.

“Hah!!” Azumiya terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang memegang pundaknya. Dengan refleks ia berbalik.

“Taraaaa…” sebuah cincin cantik tersodor di hadapan matanya yang bening. Membuat ia terkejut dan mematung sendiri.

Tiba-tiba Dong Woo menunduk. Menekuk kakinya dan berlutut seperti seorang pangeran yang hendak melamar permaisurinya.

Azumiya masih mematung melihat pemandangan indah di hadapannya itu.

Dengan senyum yang sangat manis, “Mau kah kau menjadi permaisuri di kerajaanku ini?” pinang Dong Woo yang tiba-tiba saja membuat bola mata bening Azumiya berubah jadi berawan dan turun hujan.

“Hah…” Azumiya menutup mulutnya yang terbuka lebar menahan ketidakpercayaannya atas apa yang ada dihadapannya.

Dong Woo mengembangkan lagi senyumnya lebih lebar. Matanya berkedip seolah meminta jawaban atas persembahannya itu.

“Hah…” Azumiya mengangguk pelan dalam diam. Ia tak kuasa menggerakkan bibirnya.

Tanpa menunggu lagi, Dong Woo melingkarkan cincin indah itu di jari manis Azumiya dengan lembut. Lalu lekas ia berdiri.

Kedua mata Azumiya yang lembut betul-betul ia perhatikan lekat-lekat. ‘Azumiya memang Seok Jin-ku yang telah lama hilang…’ gumam Dong Woo dalam hati. Matanya berbinar indah. Jantungnya berdegup seirama dengan perasaan yang ia rasakan. Hingga tanpa sadar, kedua tangannya tak lama meraih wajah Azumiya dan hasrat membuat mereka berciuman dengan mata yang saling terpejam.

Azumiya memeluk tubuh tegap Dong Woo erat-erat. Ia merasakan perasaan indah yang sudah lama sekali tak pernah ia rasakan. Di tengah hembusan angin yang memenuhi bagasi, ia merasakan kehangatan yang membuatnya merasa terjaga. Benar-benar terjaga…

---


dont be silent reader please... ^_^

Kamis, 24 Februari 2011

FF/SHINee/The Name I Loved/1-shoot

Title : The Name I Loved

Length : 1/1

Author : Dita Rachmawati (DR Rara)

Cast :

- Onew

- SHINee’s member

Rating : PG13

Onew melukis satu nama dalam notenya. Dengan tatap mata yang kosong dan senyum dibibirnya, ia tak mengontrol tangannya yang terus bergerak mengukir huruf demi huruf membentuk satu kata yang terukir dengan hiasan yang sangat indah.

“Yaaa… Onew hyung… kau belum tidur?” tersentak mendengar minho menegurnya, Onew langsung menutup notenya dan menatap dongsaengnya itu gelagapan.

“A~ belum…” sahut Onew yang langsung bangkit menutupi meja tulis itu dengan tubuhnya.

Minho sedikit bingung melihat sikap hyungnya yang aneh, bahkan ia jadi merasa penasaran pada tulisan yang ditulis hyungnya beberapa waktu lalu. Ia berusaha mengintip dari balik tubuh Onew yang bidang.

“Ka… kau lihat apa?” tanya Onew gugup.

“Kau baru saja menulis apa Hyung?” dengan mata yang masih penasaran, Minho berjalan menghampiri meja tulis hyungnya yang sedikit berantakkan itu.

Dengan cepat gerakan tangan Onew menjatuhkan note kecil itu dalam laci dan segera menutupnya.

“A… annii… aku hanya menulis lirik untuk album baru kita…” alasan Onew sambil menahan tubuh Minho yang mulai mendekatinya.

“Lirik lagu? Benarkah? Aku tidak percaya padamu Hyung…” telak Minho sambil menggeser tubuh hyungnya yang tak lebih tinggi darinya itu.

Dengan gugup, Onew terpaksa menggeser posisinya dari hadapan meja tulis itu.

Dan benar saja, Minho tak menemukan apapun kecuali kertas yang berserakan berisi deretan kata-kata manis yang tak salah lagi adalah untaian lirik lagu ciptaan hyungnya itu.

Minho mengangkat wajahnya dan menatap Hyungnya dengan wajah yang bersalah. Onew menatap dongsaengnya dengan wajah yang gugup takut-takut Minho memeriksa isi lacinya.

“Minhae… aku terlalu penasaran sampai-sampai tidak mmpercayaimu hyung…” ucap Minho bersalah.

“Hah…” Onew menghela nafas pelan. Sangat pelan agar ia tak dicurigai dongsaengnya itu. “Ne, gwaenchana… kau sendiri kenapa belum tidur?” Onew mulai mengalihkan pembicaraan dengan perhatian yang biasa ia berikan pada dongsaengnya yang lain.

Minho menguap sambil menutup mulutnya. “Tadi aku kehausan, jadi aku bangun sebentar untuk minum.” jelas Minho dengan mata yang sayu menahan kantuk.

“Kalau begitu kembalilah tidur, besok kita ada jadwal latihan…” Onew menepuk punggung Minho pelan sambil mendorongnya menuju kamar.

“Ne ne… kau juga jangan tidur terlalu larut Hyung…” sahut Minho sambil menutup pintu kamar dan lekas kembali berbaring di atas ranjangnya.

Tinggallah Onew dengan note yang kembali ia keluarkan dari dalam laci. Ia pandang lagi nama yeoja yang baru saja ia lukis. Dengan detak jantung yang berdegup cepat, wajah cantik yeoja itu kembali tayang di benaknya. Sungguh menghibur sampai-sampai membuatnya tersenyum-senyum sendiri.

---

“Jonghyun Hyung dimana?” tanya Taemin pada ketiga kakaknya yang tengah meneguk orange juice disela-sela latihan.

“Tadi ia ijin pergi duluan untuk membeli sesuatu…” sahut Onew yang duluan selesai minum.

“Apa untuk Se Kyung lagi?” tanya Taemin menebak.

Onew hanya mengangguk polos. Setelah puas minum, Key kembali berlatih dihadapan cermin tanpa ikut membagi suara pada mereka. Sedang Minho masih belum puas meneguk orange juicenya yang kedua.

“Jonghyun Hyung akhir-akhir ini sibuk sekali mengurus acara ulang tahun pacarnya itu…” gerutu Taemin iri.

“Yaaa kau urus dulu ujianmu Taemin…” nasihat Minho yang baru saja selesai menghabiskan. Tanpa menunggu, Minho langsung berlari menyusul Key yang sibuk merangkai gerakan baru.

Tinggallah Taemin yang menatap Onew polos. “Hyung, apa kau tidak mengikuti jejak Jonghyun Hyung? Sepertinya kau terlalu cuek untuk urusan yang seperti itu…” Taemin membuat Onew terdiam.

“A~ itu…” belum sempat Onew menjelaskan sesuatu, Taemin keburu pergi menyahut panggilan Key yang baru saja menemukan gerakan baru.

Onew hanya terdiam menatap ketiga dongsaengnya yang kini sibuk menatap bayangan masing-masing di cermin.

Ia jadi berpikir sendiri. ‘Aku terlalu cuek untuk urusan itu ya?? Mereka hanya tidak tahu saja kalau aku sudah…’

---

“Key, apa kau bisa mengajariku membuat kue tart?” Onew menghampiri Key yang sibuk memasak makan malam mereka.

Dengan heran Key menatap hyungnya yang kelihatan berbeda itu. “Mwo? Kau ingin memasak?” tanya Key heran.

Onew mengangguk polos.

“Hahahaha, ada apa denganmu Hyung?” sahut Key setengah tidak percaya.

“Waeyo??” Onew ikut bingung.

“Kau terlihat tidak seperti biasanya…” sahut Key dengan tangan yang sibuk menumis daging.

Onew terdiam bingung.

“A~ Arasso arasso… aku akan mengajarimu setelah aku selesai memasak makan malam kita…” sahut Key akhirnya.

Dari depan pintu dapur, Minho menatap kelakuan Onew hyungnya yang terlihat mencurigakan dan aneh. Biasanya ia akan berubah obsesif bila menginginkan sesuatu. Sampai-sampai ia melakukan apa pun yang tak biasa dilakukannya. Tapi apa yang sedang diinginkan hyungnya itu? Apa mungkin ada hubungannya dengan tulisan yang ia buat semalam??

---

Minho kembali menemukan sosok hyung tertuanya yang masih sama sibuknya dengan kemarin malam. Dari dapur, terlihat hyungnya sibuk menulis sesuatu dalam notenya. Dan feeling Minho berkata ia bukan sedang menulis lirik, tapi menulis sesuatu. Dan ini pasti ada hubungannya dengan perubahan yang terjadi pada hyungnya itu seharian kemarin.

Dengan derap kaki yang pelan, Minho mencoba mendekati hyungnya yang masih tertunduk dengan sebatang pensil dalam genggamannya. Dengan tubuhnya yang jangkung, Minho berusaha keras menangkap isi tulisan Onew yang sedikit terhalangi.

Hingga akhirnya Onew menyadari kehadiran Minho dan segera berbalik sambil menutup notenya.

“Minho ya, sedang apa kau dibelakangku?” tanya Onew langsung berbalik dengan wajah yang kaget.

“Gambar apa yang sedang kau gambar Hyung? Kenapa kau selalu menyembunyikannya setiap kali ingin kulihat?” tanya Minho jujur. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Onew lekas bangkit dan menatap wajah dongsaengnya itu dengan gugup.

“Annii… ak… aku hanya belajar melukis…” sahut Onew mencari-cari alasan.

Tanpa menunggu waktu lagi, Minho merebut note yang sempat digenggam erat hyungnya itu. Dan begitu ia buka, ia terkejut bukan main…

---

Onew menggaruk-garuk kepalanya bingung. Rambutnya sudah tidak berbentuk lagi. Jari tengahnya sudah benar-benar tipis karena terlalu lama menekan pensil. Ia merasa matanya sudah tidak fokus lagi melihat untaian-untaian garis yang terlukis di atas lembaran notenya.

Dengan keringat yang mulai menetes, Onew memutar memorinya mengingat teknik menggambar garis abstrak yang ia temukan di internet tadi pagi. Ia merasa metode itu sangat-sangat tepat untuknya. Karena ia dapat menatap ukiran nama yeoja idamannya tanpa harus ketahuan doangsaengnya yang lain.

Baru setengah jadi, tiba-tiba ada sesosok bayangan yang bergerak-gerak di atas meja tulisnya. Ia langsung terdiam memperhatikan bayangan itu. Bayangan itu bukan miliknya.

“Minho ya, sedang apa kau dibelakangku?” tanya Onew langsung berbalik dengan wajah yang kaget.

“Gambar apa yang sedang kau gambar Hyung? Kenapa kau selalu menyembunyikannya setiap kali ingin kulihat?” tanya Minho jujur. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Onew lekas bangkit dan menatap wajah dongsaengnya itu dengan gugup.

“Annii… ak… aku hanya belajar melukis…” sahut Onew mencari-cari alasan.

Tanpa menunggu waktu lagi, Minho merebut note yang sempat digenggam erat hyungnya itu. Dan begitu ia buka, ia terkejut bukan main…

“Mi… mianhae Hyung… aku salah duga lagi, ternyata kau benar-benar bekerja sangat keras dalam menulis lirik lagu… “ ucap Minho kembali bersalah.

Onew menatap dongsaengnya bingung. ‘Apa yang aku tulis seperti sebuah lirik lagu?’

“Sekali lagi aku minta maaf Hyung, telah mencurigaimu…” Onew terpaku menatap dongsaengnya itu. ‘Apa itu artinya lukisanku berhasil?’

“Hyung??” Minho menegur hyungnya yang terdiam seperti patung.

“A~ ne?” sahut Onew yang kini air wajahnya berubah ceria.

“Apa kau marah padaku?” tanya Minho cemas.

“A~ Anni anni… kau kebalilah tidur, aku masih harus membereskan kertas-kertasku…” sahut Onew dengan nada riang. Ia mendorong tubuh Minho ke arah kamar. Dan kali ini Minho menutup pintu kamar dengan wajah yang bingung. Lalu menggeleng mencoba mengabaikan hyungnya yang aneh itu.

‘Bukankah Onew Hyung memang sering seperti itu?’ desisnya dalam hati.

Dengan riang Onew memandang garis abstraknya yang benar-benar menggambarkan nama yeoja cantik itu di matanya.

“Bukankah Kyuhyun itu benar, aku memang namja yang menyimpan banyak rahasia… kekeke” Onew kembali melanjutkan lukisannya yang baru setengah.

-End-

Bad Women part 1

“Tring… tring… tring…” lonceng tanda waktunya pulang telah tiba. Murid-murid 15 elementary school berhamburan keluar kelas menuju pintu gerbang untuk segera menemui masing-masing wali yang menjemput mereka. Ada yang bersama Ayahnya, bersama Ibunya, adapun yang bersama kedua orang tuanya. Tapi itu tidak semua, karena sebagian dari mereka hanya dijemput oleh pengasuh sekaligus supir pribadi keluarga mereka.

“Hahaha…” sebagian dari anak-anak yang masih berumur delapan tahun ke bawah tertawa lepas sambil balapan berlari menuju pintu gerbang yang sudah di penuhi orang-orang dewasa.

“Kau jaga…” sebagian lagi menghabiskan waktu mereka dengan bermain sampai wali mereka datang.

Namun ada satu bocah lelaki yang terkenal dingin dan pemurung. Ia tak pernah mau berbaur dengan anak lain. Umurnya delapan tahun sejak dua bulan lalu. Ia berasal dari keluarga yang terkenal karena keberhasilannya dalam bidang kesehatan. Keluarga anak itu memiliki 5 rumah sakit yang tersebar di seluruh Korea dan 15 apotek. Anak itu bernama Han Dong Woo.

Sebenarnya Dong Woo adalah siswa baru di 15 elementary school. Keluarganya memasukkannya di sekolah orang-orang terpandang itu sejak kejadian tragis yang bocah itu alami di acara ulang tahunnya yang ke delapan.

“Dong Woo… apa kau ingin ikut bergabung dengan kami?” tawar salah satu teman sekelasnya yang sibuk bermain sepak bola.

Tanpa menjawab, Dong Woo berlalu dari hadapan mereka. Bahkan untuk menoleh pun ia tak berselera.

Min Seop―pengasuhnya sejak ia lahir―tak lama datang menghampiri Dong Woo dengan memayungi anak majikannya itu dan menjajari langkah kecilnya yang mengarah ke mobil.

“Sombong sekali dia…” desis Taek Goo yang tadi mengajaknya bermain.

“Iya…” sahut yang lain kompak.

Setelah mobil mercy mereka berlalu, barulah anak-anak itu kembali bermain.

Di dalam mobil, Dong Woo masih saja menekuk wajahnya yang sama sekali tak ceria seperti anak lain. Min Seop jadi kikuk sendiri menghadapi Tuan mudanya itu yang semakin hari semakin buruk sikapnya.

“Apa Tuan muda hari ini mengalami masalah?” tanya Min Seop mencoba menyapa Dong Woo yang terus murung.

“Tidak.” jawab Dong Woo diam dengan mata yang terus menatap ke depan. Min Seop jadi semakin bingung. Ia tak tahu bagaimana agar ia dapat mencairkan suasana.

“Ehm… apa tuan muda ingin singgah di restoran untuk makan siang?” tawar Min Seop dengan senyum yang ia berikan melalui kaca tengah.

“Tidak, aku ingin segera ke kamar. Ada sesuatu yang harus kukerjakan.” jelas Dong Woo datar dan dingin.

“Baiklah kalau begitu…” Min Seop terpaksa diam dan tetap konsentrasi menyetir. Percuma ia mencoba untuk menyapa Tuan mudanya itu, karena bocah itu sudah sangat jauh berubah.

“Maaf Nyonya, Tuan muda… Tuan muda…” salah satu pelayan tiba-tiba menghadap Min Ji―bibi Dong woo―dengan terengah-engah.

“Ada apa dengan Dong Woo?” Min Ji jadi ikut kaget.

“Tuan muda… Tuan uda tidak ada di kamarnya…” sahut pelayannya dengan nada takut.

“APA??” Min Ji terbangkit dari duduknya dengan wajah marah dan kaget.

Dong Woo melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak yang sudah lama sekali tidak ia lalui. 3 Km sudah ia lalui sejak semalam ia mencoba kabur dari rumahnya. Wajahnya kini sudah dipenuhi peluh. Bibirnya sedikit pucat. Sejak kejadian dua bulan lalu itu ia memang tak pernah lagi melakukan perjalanan, apalagi sampai sejauh ini. Hidupnya selalu dipenuhi aturan dan penjagaan.

“Hah hah hah…” Dong Woo berhenti sejenak di bawah pohon sambil meneguk lagi tetesan-tetesan terakhir dari persediaan minum yang ia bawa. Nafasnya tersengal-sengal. Punggungnya terasa sangat sakit karena ia sudah memikul ransel yang ukurannya cukup besar selama delapan jam.

“Aku harus kuat… aku harus menemukan dia, aku yakin dia belum mati… dan aku yakin dia adalah gadis yang kuat, jadi ia tidak mungkin mati hanya karena kecelakaan itu…” desis Dong Woo lirih dengan sorot mata yang tajam dan tekad yang bulat. Ia kembali melangkah menuju tempat yang sangat ingin ia tuju yang jaraknya sudah tidak jauh lagi.

“Seok Jin…” panggil Dong Woo tiba-tiba saat ia baru saja ingin melangkah dan menemukan sosok yang selama ini ia cari-cari.

Seorang gadis kecil duduk sendiri termangu. Menahan dagunya di atas lutut sambil memandang sungai di hadapannya. Rambutnya yang panjang terurai tak beraturan menutup wajahnya. Tapi tanpa harus melihat wajahnya, Dong Woo sudah benar-benar mengenali gadis kecil itu.

Dengan langkah yang terseok-seok, Dong Woo mencoba berlari mengejar gadis itu. Tas ransel di pundaknya segera ia lepas. Botol air mineral yang di genggamnya di jatuhkan ke tanah tanpa peduli. Tak peduli berapa banyak batu yang harus ia injak dan berapa banyak ilalang yang harus menggores kakinya. Dalam sorot kedua matanya hanya ada gadis itu. Tak ada yang lain. Hanya gadis itu.

“Seok Jin…” panggilnya dengan setengah berteriak saat ia tiba di belakang gadis itu. Senyumnya merekah indah saat gadis itu berbalik dan yang ia lihat memang benar sosok yang selama ini ia rindukan dan ia cari.

Namun gadis itu membalas tatapannya dengan wajah yang bingung. Kedua alisnya bertaut. Matanya terlihat kosong. Dan tak ada sedikitpun senyum di bibirnya.

“Seok Jin, maaf aku baru bisa menemukanmu sekarang…” jelas Dong Woo dengan wajah yang merasa bersalah.

Namun gadis itu tetap menatapnya dengan wajah yang bingung. “Apa ada yang salah denganku? Mengapa tatapanmu seperti itu?” tanya Dong Woo ikut bingung.

“Kau siapa?” ungkap gadis itu akhirnya.

Seketika Dong Woo merasa tersentak. Jantungnya terasa berhenti sesaat. Senyum di wajahnya pudar seketika.

“Apa kau mengenalku?” tanya gadis itu lagi makin membuat Dong Woo terpaku. Ia merasa sangat tidak percaya dengan apa yang ia dapatkan dari gadis yang selama ini ia cari-cari.

“Kau Seok Jin ‘kan?” tanya Dong Woo terbata-bata.

“Dara… Dara…” tiba-tiba saja terdengar teriakan seorang ibu tua dari kejauhan yang menyebutkan nama yang sama sekali tidak pernah Dong Woo dengar. “Dara…” ibu itu berhenti dihadapan mereka. “Kau sedang apa di sini Nak? Kau tidak apa-apa ‘kan?” ibu itu langsung merunduk mengusap-usap wajah bocah perempuan itu seolah memastikan apa ada luka di wajah bocah itu.

Dong Woo terdiam. Matanya membulat dengan tangan yang teruntai lemas. Ia semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

“Tunggu!” tiba-tiba Dong Woo menyela mereka. Ia menghalangi tubuh Seok Jin dari wanita itu dengan wajah yang marah. Yang ada dalam pikirannya, Seok Jin selama ini pasti diculik oleh ibu tua itu. Dan mungkin Seok Jin telah diracuni sehingga ia tidak mengenal Dong Woo lagi.

“Kau siapa? Kau pasti orang yang sudah menculik Seok Jin dan meracuninya agar ia tidak mengenaliku lagi…” ungkap Dong Woo dengan tangan yang menggenggam jemari Seok Jin erat-erat.

“Apa yang kau lakukan pada anakku? Justru kau yang siapa! Beraninya merebut anakku. Awas kau… minggir…” sahut ibu tua itu kesal sambil mendorong-dorong tubuh Dong Woo.

“Tidak...” Dong Woo malah menarik tangan Seok Jin membawa gadis itu menjauhi ibu tua yang berusaha merenggut Seok Jin dari genggaman Dong Woo. “Aku Han Dong Woo, sahabat kecil Seok Jin, kau siapa? Beraninya mengakui ia sebagai anakmu!” tantang Dong Woo berani.

“Apa? Ka… kau… kau… Han Dong Woo?” tiba-tiba ibu tua itu terlihat kaget. Matanya membulat dan mulutnya menganga.

Selang beberapa detik, ibu tua itu tba-tiba menarik Seok Jin paksa dan menggendongnya sambil membawa lari Seok Jin. Dong Woo ia dorong kuat-kuat hingga jatuh ke sungai.

Tanpa diam, Dong Woo segera bangkit dan berlari mengejar ibu tua itu. Tapi sayangnya ada sesuatu yang terasa sangat perih di kakinya yang membuat it tak mampu untuk menyaingi langkah lamban ibu tua itu.

Kaki kirinya robek tergesek batu sungai yang kasar dan membuat langkahnya dipenuhi banyak darah. Rasa perih itu tak mampu ia tahan hingga akhirnya ia terduduk dan menangis.

“Aahhh…” keluhnya sambil memegangi kakinya. Matanya masih sempat menangkap sosok ibu tua itu yang membawa lari Seok Jin hingga jauh dari pandangannya. Dan Seok Jin hanya menangis sambil menatapnya. Ia tahu Seok Jin merasa ketakutan.

“Tuan muda… Tuan muda…” tiba-tiba Min Seop berlari menghampirinya dari belakang. “Tuan muda kemana saja? Apa anda tidak apa-apa?” tanya Min Seop berderet sambil memperhatikan Dong Woo lekat-lekat. “Astaga Tuan muda terluka…” Min Seop terkaget melihat luka robek di kaki kiri Dong Woo.

“Paman… Paman tolong selamatkan Seok Jin… ia diculik oleh nenek-nenek ke arah sana…” tunjuk Dong Woo ke arah Seok Jin pergi dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya.

Min Seop terbelalak kaget mendengar perintah itu. “Ayo Tuan muda… kita harus segera mengobati luka Tuan muda…”

“Tidak Paman, Paman tolong bantu aku menyelamatkan Seok Jin, Paman… dia diculik…” jelas Dong Woo mengelak.

Min Seop tampak kebingungan. Ia merasa tak mungkin untuk membongkar rahasia itu detik ini juga. Dong Woo masih terlalu kecil untuk diajari tentang dendam keluarganya.

“Paman! Paman kenapa diam?” Dong Woo membentak pengasuhnya itu yang tampak melamun. “Kalau Paman tidak mau menolongnya, biar aku saja yang menolongnya…” ancam Dong Woo yang langsung bangkit dan mencoba berjalan dengan kaki yang berlumuran darah.

“Tuan muda… Tuan muda…” tiba-tiba Min Seop memeluk tubuh Dong Woo dari belakang dengan wajah yang penuh rasa bersalah. “Aku mohon Tuan muda… dengarkanlah saya…” pelas Min Seop membuat Dong Woo terpaku. “Tolong Tuan muda jauhi dia… tolong lupakan dia…” pinta Min Seop dengan sangat memelas.

“Maksud Paman apa?” tanya Dong Woo yang tak mengerti dengan sikap pengasuhnya yang tidak biasanya itu.

“Itu karena… karena…”

“Karena apa Paman?!” potong Dong Woo dengan nada membentak.

“Karena Seok Jin lah… yang… membunuh kedua orang tua Tuan muda…” jelas Min Seop dengan penuh rasa bersalah dan terpaksa.

“APA??” Dong Woo langsung melepas pelukan Min Seop di tubuhnya dan berbalik menatap pengasuhnya itu.

Min Seop menunduk. Bahkan hingga tubuhnya jauh lebih rendah dari tubuh Dong Woo yang setinggi 100 Cm. Ia merasa sangat bersalah setelah mengatakan itu.

“Apa maksudmu dengan semua itu? Apa? APA??” Dong Woo menggoncang-goncangkan tubuh Min Seop kuat-kuat menagih jawabannya.

“APA!!” Dong Woo teriak kuat-kuat mengisi seluruh isi kamarnya hingga membuatnya terduduk dan terbangun dari mimpinya.

“Hah hah hah…” nafasnya terengah-engah. Jantungnya berdetak cepat tak beraturan. Sekujur tubuhnya dipenuhi keringat meski ia tidur tanpa mengenakan pakaian. Hanya selembar selimut yang masih menempel di kakinya. Matanya kunang-kunang meski telah ia pejamkan dan ia usap kuat-kuat.

Tak lama ia kembali menyenderkan tubuhnya di sandaran ranjang tidurnya yang cukup lebar. Ia mencoba mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal. Matanya terpejam.

“AAArrgghh…” teriaknya kesal pada mimpinya itu.

“Tok tok tok…” tiba-tiba terdengar ketukan dari balik daun pintu kamarnya.

Dengan langkah gontai, ia beranjak dari ranjangnya dan berjalan mendekati lemari untuk mengambil kaus putihnya yang tergantung rapid an segera mengenakannya. Dalam hitungan tiga ia telah membuka daun pintu kamarnya dan menemukan sosok Min Seop yang tampak dengan wajah penuh rasa bersalah.

“Ada apa Paman?” ungkap Dong Woo langsung setelah menangkap adanya ketidakberesan.

“Bolehkah saya masuk? Hal ini terlalu rahasia untuk dijelaskan di tempat seperti ini…” pinta Min Seop dengan wajah memelas.

“Masuklah Paman…” izin Dong Woo yang langsung membawa pengasuhnya masuk ke dalam kamarnya dan menutup daun pintu setelah memperhatikan keadaan sekitar.

Mereka menempati sofa yang terletak di sudut ruangan di bagian bawah ranjang.

“Ceritakanlah Paman, apa yang terjadi?” Dong Woo langsung membuka percakapan.

“Sebelumnya saya mohon maaf…” ungkap Min Seop dengan wajah yang tertunduk.

“Ya…” Dong Woo mengangguk.

“Apa Tuan muda ada agenda pada hari Senin nanti?”

“Senin?” Dong Woo mencoba mengurai isi memorinya tentang semua janji yang sudah ia buat selama seminggu terakhir. “Kurasa tidak ada, ada apa?”

“Maukah Tuan muda mengunjungi keponakanku di tempat kursus keseniannya? Tempat kursusnya baru saja membuka salon kecantikan, dan untuk acara peresmiannya, mereka kekurangan dana untuk mengundang artis. Jadi, aku terpikir untuk meminta bantuan Tuan muda untuk menjadi bintang tamunya. Hitung-hitung sebagai perkenalan kecil-kecilan Tuan muda atas cita-cita Tuan muda untuk menjadi seorang penyanyi.” jelas Min Seop dengan keberanian untuk menatap Tuan mudanya itu.

Dong Woo tampak mempertimbangkan.

“Tapi jika Tuan muda tidak berkenan, tidak apa-apa. Dan saya mohon maaf atas kelancangan saya ini…” tambah Min Seop dengan wajah yang kembali tertunduk.

Dong Woo mengangguk-angguk dalam diam. “Tawaran yang sangat baik sekali Paman, mungkin aku bisa memperkenalkan diriku di sana. Sekalipun aku belum menjadi seorang penyanyi yang dipimpin di bawah management, tapi aku bisa melakukan sedikit percobaan dengan perkenalan dengan tamu-tamu di acara peresmian salon kecantikan itu.” pertimbangan Dong Woo yang terdengar mantap.

Min Seop tersenyum cerah mendapati respon yang baik itu. “Terima kasih banyak Tuan muda, kalau begitu, saya permisi.”

“Ehm, Paman, bisakah Paman rahasiakan ini dari Bibi?” tanya Dong Woo dengan wajah ketakutan.

“Tentu Tuan muda, saya berjanji untuk merahasiakan ini dari keluarga Tuan muda.” sahut Min Seop yang di akhiri dengan saling senyum.

“Anda pasti bisa Tuan muda…” spirit Min Seop sambil menepuk pundak Dong Woo member semangat.

“Terima kasih Paman…” sahut Dong Woo dengan senyum yang ramah.

Satu, dua, tiga, hitung Dong Woo dalam hati yang langsung melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju panggung.

Ia menempati kursi tinggi sambil menggenggam sebuah gitar. Dengan grogi ia menyesuaikan letak micnya hingga sejajar dengan bibirnya dan dapat dengan mudah ia gunakan.

Semua mata tertuju padanya saat ini. Sebagian orang yang menempati bangku tamu terlihat mencibirnya dengan kata-kata yang terdengar berbisik.

Mental Dong Woo sedikit down mendapati pemandangan itu. Ia tahu harusnya ia sudah siap menerima semua itu dengan statusnya yang belum menjadi seorang penyanyi sungguhan.

I hear you breathe

You're lying close to me

The shadows gone

I have found my peace…” Dong Woo mulai melantunkan lagunya diiringi petikan gitar yang dimainkan bersama 2 orang pemusik pendampingnya.

Tiba-tiba saja, ia merasa gugup dan salah petik. Ditambah lagi senar gitarnya yang tiba-tiba putus.

Samar-samar terdengar cibiran itu semakin mendesak kuat di telinganya. Membuatnya merasa panik dan berhenti tanpa tahu harus berbuat apa.

“You make me calm

With you I'm safe from harm

And right by your side

I'll stay through the night 'til eternity

That's the way it will be…” tiba-tiba seorang gadis dengan dress soft pink ikut bernyanyi dengan keras dari sudut meja tamu. Mengheningkan cibir-cibir tamu undangan yang terdengar makin lama makin nyaring.

Salah satu teknisi mengantarkan mic pada gadis imut itu. Namun anehnya, gadis itu tampak malu dan ingin menolak tawarannya.

“Ambillah, dan segera maju ke panggung… ayolah… selamatkan acara ini…” mohonnya dengan wajah penuh pelas.

“Tidak… aku tidak bisa…” gadis itu menolak.

“Ayolah…”

“Maaf… aku tidak punya keberanian…”

“Apa kau ingin ku laporkan pada bos agar kau tidak jadi dipekerjakan di salon ini?” kali ini teknisi itu mengeluarkan ancamannya.

“Ah…” gadis itu berubah ketakutan.

Teknisi itu menyerahkan mic ke tangan gadis itu dan dengan paksa mendorong gadis itu masuk panggung.

Dong Woo dengan gugup menatap pengasuhnya yang berada di belakang stage.

“Sambut gadis itu Tuan… ayo!! Kau pasti bisa!!” isyaratnya pada Tuan mudanya.

Dengan kaku, Dong Woo menuruti permintaan Min Seop. Ia langsung berdiri dan meletakkan gitarnya di sisi kursi. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu gadis itu menaiki anak tangga.

Dengan lembut gadis itu menatap kedua matanya dan menerima uluran tangan itu.

Slepp… tiba-tiba saja Dong Woo merasakan hal yang aneh pada gadis itu. Ia seperti pernah menggenggam tangan gadis itu sebelumnya, hanya saja ia tak ingat kapan hal itu terjadi.

Seiring dengan waktu berjalan, Dong Woo menempatkan gadis itu di sisinya. Dan mengajaknya untuk bernyanyi bersama.

And I wonder what you're dreaming of

You're so peaceful when you sleep

Everything I want everything I need is lying here in front of me…

And if I ever lose my power to fly

Then your love takes me high

I'll always be true to you

Sometimes I think I might lose it all

Guess the chances are small

'Cause you hold me close I feel you near

Don't let go say you'll always be here

just hold me tight and I'll be fine

Dreaming you will always be mine…” duet mereka yang mereka lalui dengan pegangan tangan dan saling menatap tanpa mereka sadari.

Tanpa mereka sadari. Ternyata tak hanya mereka yang terenyuh dalam suasana lagu itu. Tapi juga seratus khalayak di hadapan mereka yang terihat menarik kata-kata mereka lagi yang sudah mencibir Dong Woo sebelumnya.

Dong Woo tampak lebih beraura dari pada penyanyi lain yang sudah menyandang status yang sah sebagai seorang penyanyi.

“Azumiya… kau keren sekali… apa dia pacarmu?” serbu teman-teman gadis pemalu itu dengan sederet pertanyaan.

“Hah? Bukan… aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Aku hanya…”

“Hai…” Dong Woo memotong pembicaraan mereka yang membuat mereka tiba-tiba histeris.

“Hah… bolehkah saya berkenalan dengan Anda?” tiba-tiba Seo Hyun menyela dan menghalangi Azumiya untuk sekedar bertemu lagi dengan Dong Woo.

“Ee… Oh, tentu…” Dong Woo menerima tawaran itu dengan terpaksa.

“Aku Seo Hyun… kau?”

“Dong Woo…” sahut Dong Woo dengan senyum yang terpaksa. Seo Hyun memang paling menguasai di antara mereka. Ia juga yang mendapat julukan paling cantik di antara pegawai yang lain. Sehingga yang lain langsung mengalah.

“Oh, Dong Woo… bolehkah aku berfoto denganmu?”

“I… iya... tentu…” sahut Dong Woo lagi kembali dengan terpaksa.

Sebelum mereka berpose, Dong Woo sempat melihat gadis yang ingin ditemuinya itu pergi.

Lalu, timbul lagi sifat dingin Dong Woo yang seperti biasanya muncul.

“Permisi…” tiba-tiba ia melarikan diri dari kerumunan itu.

“Lho, Dong Woo, aku belum mendapatkan fotomu…”

Dong Woo tak menghiraukan itu. Ia tetap melangkah pergi meninggalkan mereka. Dimatanya hanya ada satu, yaitu gadis itu.

“Dasar! Sombong sekali dia…” celetuk Seo Hyun dengan keras.

“Iya…” sahut yang lain.

Sambil berjalan, Dong Woo menyadari sesuatu. “Bukankah kata-kata itu…” tiba-tiba ia berbalik. Di tatapnya satu persatu wajah-wajah gadis itu dengan tatapan yang sadis.

Kata-kata itu sama persis seperti kata-kata teman SDnya dulu. Sehari sebelum ia bertemu Seok Jin.

Tanpa mengeluarkan kata-kata, ia kembali berbalik dan langsung pergi. Ada sesuatu yang harus ia temukan dari gadis itu.

Tiba-tiba saja, seorang lelaki bertubuh gemuk dan berperut buncit ditemani beberapa orang lelaki di belakangnya menghentikan langkahnya tepat di hadapan Dong Woo.

“Apa kau yang bernama Han Dong Woo?” tanya lelaki berumur itu.

“Ya…” sahut Dong Woo jadi takut sendiri.

“Kenalkan, saya Kim Soo Ro, apa Anda ada waktu?”

“Untuk apa?”

“Saya ingin menawarkan kontrak pada Anda” sahut lelaki itu datar.

“Kontrak?”