Minggu, 27 Februari 2011

Bad Women Part 2

Part 2

“YES!!” teriak Dong Woo girang sambil membanting tubuhnya ke atas sofa. “Kau memang jenius Paman… baru sekali kuperkenalkan pada tamu-tamu undangan itu, sudah dapat satu tawaran untuk menjadi seorang penyanyi…” ceritanya dengan senyum puas.

“Ya, kau benar... tapi ngomong-ngomong gadis yang tadi itu ikut berpengaruh juga dalam keberhasilan Tuan muda ini…” jelas Min Seop yang mengingatkan kembali pada gadis pemalu itu.

“Astaga… aku lupa… bukankah aku sedang mencarinya sebelum dihadang Kim Soo Ro…” Dong Woo menepuk keningnya menyesali kekhilafannya.

“Jadi Tuan muda mencarinya?”

“Iya, tadi aku sempat mencarinya, hanya saja aku lupa setelah Soo Ro menghadangku di tengah jalan.” jelas Dong Woo dengan nada kecewa.

“Kenapa Tuan muda mencari gadis itu? Bukankah selama ini Tuan muda sangat tidak peduli pada orang lain terutama pada wanita?” tanya Min Seop polos dengan tampang heran.

“Entahlah…” Dong Woo berbalik badan membelakangi pengasuhnya itu. “Mungkin karena usiaku…” sahut Dong Woo dengan senyum nakal.

“Ya, tentu saja, usia 20 tahun sudah cukup matang untuk memiliki seorang kekasih…” sahut Min seop dengan senyum nakal pula.

Lalu mereka sama-sama meneguk kembali segelas anggur hitam yang membuat mereka setengah mabuk.

“Kau siapa? Kau pasti orang yang sudah menculik Seok Jin dan meracuninya agar ia tidak mengenaliku lagi…” ungkap Dong Woo dengan tangan yang menggenggam jemari Seok Jin erat-erat.

“Apa yang kau lakukan pada anakku? Justru kau yang siapa! Beraninya merebut anakku. Awas kau… minggir…” sahut ibu tua itu kesal sambil mendorong-dorong tubuh Dong Woo.

“Tidak...” Dong Woo malah menarik tangan Seok Jin membawa gadis itu menjauhi ibu tua yang berusaha merenggut Seok Jin dari genggaman Dong Woo. “Aku Han Dong Woo, sahabat kecil Seok Jin, kau siapa? Beraninya mengakui ia sebagai anakmu!” tantang Dong Woo berani.

“Apa? Ka… kau… kau… Han Dong Woo?” tiba-tiba ibu tua itu terlihat kaget. Matanya membulat dan mulutnya menganga.

Sep… Dong Woo membuka matanya dengan refleks. Nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya basah dipenuhi dengan peluh. Tangan dan kakinya dingin. Ini ke 23 kalinya ia memimpikan hal yang sama selama lima bulan terakhir semenjak terakhir ia memimpikan hal yang serupa dan menemukan Azumiya. Hidupnya terasa seperti dikejar-kejar. Membuat ia merasa tak tahan lagi.

“Aaarrrgghh…” ia kembali berteriak dengan nada menggerutu.

Tiba-tiba saja matanya terasa perih. Terasa seperti diperas. Membuat bantalnya basah dipenuhi air mata. Hatinya terasa sangat sakit seperti dipaksa untuk menahan sesuatu.

Dan Dong Woo kini seperti orang yang sakau. Sangat membutuhkan penawar rasa sakitnya. Tapi sayangnya ia tak tahu dimana ia bisa menemukan penawar dari rasa sakitnya yang juga tak jelas sebabnya.

“Park Seok Jin…” panggilnya lirih sambil kembali memejamkan mata dan menarik nafasnya dalam-dalam. Merasakan seberapa kosong rongga dalam hatinya yang sama sekali tak pernah tersentuh oleh wanita lain.

Dong Woo yang sekarang, bukanlah seorang Dong Woo yang dulu. Sekarang namanya terdaftar sebagai salah satu vokalis yang terkenal di Korea. Ia berdiri dengan bantuan ketiga temannya yang mengisi sebagai pemain alat musik dalam bandnya yang mulai melejit dengan nama “1LOP”.

Tidak hanya itu, popularitas Dong Woo juga tak kalah mengganggu hidupnya yang tadinya tak pernah tersentuh oleh wanita. Sekarang ia sering mendapat tawaran untuk melakukan seks bebas setelah ia berteman dengan seorang playboy yang berperan sebagai penabuh drum dalam bandnya. Untungnya Dong Woo masih dapat menjaga alam sadarnya sekalipun ia telah meneguk 4 gelas alcohol hampir setiap malam.

Tapi jauh dibalik semua kesenangan itu, ada masalah yang menuntut Dong Woo hingga ia harus meneguk 4 gelas alkohol tiap malam. Yakni masalah tentang keluarga besarnya yang menuntut ia untuk memimpin ke-5 rumah sakit dan ke-15 apotek yang diwariskan padanya oleh almarhum kedua orang tuanya. Dan menjadi seorang penyanyi tentulah sebuah masalah besar untuk masa depannya yang dituntut untuk menjadi seorang sarjana kedokteran. Sedang ia selalu menolak untuk menerima mata kuliah kedokteran. Ia lebih memilih gelar musisinya dari pada sarjana.

Karena itulah ia tak menjalin hubungan akrab dengan bibinya.

“Kau harus segera menyelesaikan kuliahmu agar dapat segera mengambil alih seluruh rumah sakit dan apotek yang diwariskan oleh orang tuamu.” tuntut Min Ji dengan kasar di meja makan.

“Aku tidak akan pernah menuruti apa yang tidak kukehendaki.” sahut Dong Woo jauh lebih dingin dan kasar. Bahkan Dong Woo bicara tanpa menoleh pada wajah Min Ji sedikitpun. Ia sibuk menyantap roti bakar cokelat kesukaannya.

“Bukankah egois namanya bila hanya memikirkan diri sendiri?” sindir Min Ji yang membuat suasana sarapan pagi itu terasa sangat panas.

“Bukankah terlalu ikut campur bila terlalu mengurusi hak orang lain yang sudah seharusnya ia terima?” balik Dong Woo.

“Tapi ini demi keuangan keluarga kita juga serta untuk menjaga harta warisannya”

“Kau pikir aku peduli pada orang yang selama ini tidak pernah mempedulikanku?”

“Kau sungguh keras kepala!”

“Seharusnya kau segera bersuami agar kau tak repot-repot lagi mengurusi urusan pribadiku…” jelas Dong Woo membalasnya yang langsung bangkit setelah menghabiskan sepotong roti.

“Dong Woo…” Min Ji mencoba untuk mencegahnya, tapi Dong Woo terlalu acuh padanya.

Hari ini, Dong Woo menyengajakan untuk mengunjungi salon yang dulu pernah ia kunjungi saat ia pertama kali memperkenalkan dirinya sebagai seorang penyanyi.

Ia berniat untuk menemui gadis pemalu yang pernah menemaninya bernyanyi dulu. Beberapa pekan terakhir ini Dong Woo memang sering menjumpai gadis itu sambil mencuci rambutnya atau mengganti model rambut. Tapi tak lain hanyalah untuk mendekati gadis yang benar-benar membuatnya tertarik itu.

“Permisi…” Dong Woo memberi salam pada penjaga lobi yang langsung mengerti siapa yang lelaki itu cari.

“Ah kau… Azumiya hari ini tak masuk kerja, kabarnya ia sedang sakit…” jelas wanita penjaga lobi itu dengan wajah prihatin.

“Sakit?” tanya Dong Woo dengan nada setengah naik.

“Ya, sudah dua hari ini ia tidak masuk kerja…” jelas wanita itu datar.

“Apa aku bisa minta alamatnya?”

“Aku tidak tahu dimana alamatnya. Karena Azumiya orangnya terlalu tertutup, kita jadi malas mendekatinya apalagi untuk sekedar mengetahui alamatnya…”

“Apa alamatnya tidak tertera di daftar biodata pegawai?”

“Tidak, kami juga bingung. Hanya biodatanya saja yang tidak ditampilkan secara lengkap. Sepertinya ia memiliki hubungan khusus dengan pemilik Salon.” jelas wanita itu polos.

“Jika kau mau, aku bisa memberikan alamatnya padamu…” tiba-tiba Seo Hyun angkat bicara dari balik koridor.

Dong Woo membalik tubuhnya untuk menoleh pada pemilik suara itu serentak dengan wanita penjaga lobi yang ikut menoleh pada Seo Hyun.

“Kau ingin tukar dengan apa agar aku bisa mendapatkannya?” serbu Dong Woo yang langsung mengerti apa maksud Seo Hyun.

“Kuperhatikan sejak awal, kau terlihat tertarik pada Azumiya. Ditambah lagi beberapa pekan terakhir ini kau terlihat sering mengunjungi salon ini hanya untuk menemuinya. Apa kau benar tertarik pada gadis misterius itu?” Seo Hyun membuka percakapan sambil menikmati ice cream yang Dong Woo belikan atas permintaannya.

“Apa aku perlu membahas itu hanya untuk sebuah alamat?” balas Dong Woo dingin yang duduk diam di sisi Seo Hyun sambil membuang pandangannya ke depan.

“Apa kau tahu bahwa Azumiya bukanlah wanita baik-baik seperti apa yang kau pikirkan?” tambah Seo Hyun lagi tanpa menghiraukan jawaban Dong Woo. Ia menatap lelaki tampan itu lekat-lekat.

“Apa aku harus peduli?” balas Dong Woo lagi masih kasar.

“Asal kau tahu, ia sebenarnya seorang pembunuh…” Seo Hyun menajamkan nada bicaranya dan mendekatkan bibirnya ke daun telinga kanan Dong Woo. Dong Woo sedikit merasa tersentak mendengar penjelasan Seo Hyun yang menyudutkannya untuk mengingat seseorang yang selama ini berusaha ia lupakan.

“Ingatannya hilang setelah ia membunuh kedua orang tuanya dan kedua orang tua sahabat kecilnya. Karena hal itu, akhirnya ia terbebas dari hukuman. Dan ia diangkat anak oleh bibinya yang memiliki keturunan Jepang. Demi menyembunyikan jati dirinya yang seorang pembunuh, namanya di ubah menjadi Azumiya Dara. Akte kelahirannya dipalsukan, dan namanya di masukkan dalam daftar kartu keluarga bibinya itu. Akhirnya sampai detik ini tak ada satupun orang yang mengetahui siapa sebenarnya gadis itu…” jelas Seo Hyun panjang lebar.

Dong Woo terdiam. Matanya membelalak. Dalam benaknya, terputar jelas kejadian terakhir saat ia harus kehilangan Seok Jin. Wanita tua itu memanggilnya Dara. Dan yang Min Seop jelaskan padanya tentang Seok Jin, sebuah kenyataan bahwa Seok Jinlah yang membunuh kedua orang tuanya…

Flashback on

“Tuan muda… Tuan muda…” tiba-tiba Min Seop memeluk tubuh Dong Woo dari belakang dengan wajah yang penuh rasa bersalah. “Aku mohon Tuan muda… dengarkanlah saya…” pelas Min Seop membuat Dong Woo terpaku. “Tolong Tuan muda jauhi dia… tolong lupakan dia…” pinta Min Seop dengan sangat memelas.

“Maksud Paman apa?” tanya Dong Woo yang tak mengerti dengan sikap pengasuhnya yang tidak biasanya itu.

“Itu karena… karena…”

“Karena apa Paman?!” potong Dong Woo dengan nada membentak.

“Karena Seok Jin lah… yang… membunuh kedua orang tua Tuan muda…” jelas Min Seop dengan penuh rasa bersalah dan terpaksa.

“APA??” Dong Woo langsung melepas pelukan Min Seop di tubuhnya dan berbalik menatap pengasuhnya itu.

Min Seop menunduk. Bahkan hingga tubuhnya jauh lebih rendah dari tubuh Dong Woo yang setinggi 100 Cm. Ia merasa sangat bersalah setelah mengatakan itu.

“Apa maksudmu dengan semua itu? Apa? APA??” Dong Woo menggoncang-goncangkan tubuh Min Seop kuat-kuat menagih jawabannya.

“Di hari ulang tahun Tuan muda, Seok Jin melanggar perintah ibunya untuk tidak bermain di tempat bakar barbeque. Gadis itu bermain petak umpet di sana. Dan ia membuat bocor tabung gas yang tak sengaja terputar. Menyadari adanya ketidakberesan dengan bau gas yang menyengat, kedua orang tua Tuan muda pergi memeriksanya dan meninggalkan Tuan muda yang asyik bermain dengan teman Tuan muda yang lain. Kedua orang tua Seok Jin juga ikut membantu memeriksa ketidakberesan tersebut. Tapi dalam hitungan detik tiba-tiba tabung gas itu meledak dan membakar kedua orang tua Tuan muda dan Seok Jin. Tuan muda dan Seok Jin ikut terlempar karena ledakan itu. Dan terakhir kabar yang saya dengar, Seok Jin mengalami amnesia dan diadopsi oleh keluarga bibinya. Jadi, dia bukan diculik, melainkan sengaja dijauhkan dari Tuan muda agar Tuan muda dapat melupakannya…”

Flashback end

“Apa kau masih tidak peduli?” tanya Seo Hyun mengkoyak lamunan Dong Woo. Ia tahu betul bahwa Dong Woo berhasil masuk dalam perangkapnya.

Dong Woo tiba-tiba menoleh pada gadis cantik itu. Matanya masih membelalak. Sekalipun wajahnya selisih beberapa cm saja dari wajah gadis itu.

“Darimana kau tahu tentang semua itu?” Dong Woo masih berusaha menahan emosinya. Ia sudah menyadari dari awal ada yang tidak beres dengan gadis ini.

“Kenapa? Bukankah kau tidak peduli? Dong Woo yang angkuh…” sahutnya dengan tatapan yang berubah tajam.

“Siapa kau?”

“Bukankah kau sudah mengenalku?”

“Siapa kau?” kali ini Dong Woo mulai main cara kasar. Ia mencengkeram dagu Seo Hyun kuat-kuat.

“Aku Song Seo Hyun. Aku wanita yang pernah dijodohkan oleh bibimu denganmu. Hingga akhirnya kau menolakku sebelum bertemu dan bibimu memintaku untuk memata-mataimu dan Seok Jin agar ia dapat memastikan bahwa kau tidak memilih seorang pembunuh untuk menjadi istrimu” jelas Seo Hyun dingin dengan tatap mata yang jahat.

Dong Woo melepas wajah gadis itu dengan kasar. “Jadi kau yang menyembunyikan biodata Azumiya Hah? Sekarang katakan dimana tempat tinggalnya?!” paksa Dong Woo yang kini berdiri di hadapan gadis itu dengan tangan terkepal yang siap menghabisinya.

“Kenapa? Bukankah seumur hidupmu kau tidak pernah peduli pada wanita?” Seo Hyun pun turut bangkit. Ia menjatuhkan ice cream di tangannya dengan sengaja. Membusungkan dada pertanda ia sanggup melawan lelaki bertubuh tegap dihadapannya itu.

“Cepat katakan!!” paksa Dong Woo yang mengepal tangannya makin kuat.

“Aku lebih memihak bibimu daripada lelaki angkuh sepertimu!” lawannya sambil membuang ludah bahwa ia benar-benar akan merahasiakan semuanya.

Dengan ubun-ubun yang terasa mendidih, Dong Woo menarik kerah baju wanita itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi hingga wanita itu tak bisa bernafas.

Seo Hyun berusaha menendang-nendang kaki Dong Woo, hanya saja oksigen yang tak sampai ke paru-parunya membuat ia melemah.

“Katakan sekarang atau tidak!” ancam Dong Woo dengan nada datar dan dingin.

“Ba… baiklah…”

Dorr dorr dorr!! Dong Woo mengetuk kamar Min Seop kuat-kuat. Matanya merah berapi-api. Ubun-ubunnya terasa mendidih. Keringat terus mengalir deras di dahinya.

“Paman!! Paman!! Cepat buka pintunya!!” bentak Dong Woo di tengah malam yang seharusnya sepi.

Tak lama Min Seop membuka daun pintu kamarnya. Penampilannya sungguh kusut. Menandakan bahwa ia baru saja terbangun dari tidurnya.

Tiba-tiba Dong Woo menarik kerah piama Min Seop kuat-kuat. Mendekatkan wajahnya dengan bibir yang siap-siap mengeluarkan banyak makian.

“Apa maksud Paman membawaku ke salon itu hah? Apa paman ikut bergabung dengan Bibi untuk menyiksaku dengan bayang-bayang Seok Jin?!” dengan urat leher yang tersirat jelas Dong Woo membentak lelaki yang sudah separuh baya dan berkumis putih itu.

“Te… tenang Tuan muda… kta bisa membicarakannya secara baik-baik…” sahut Min Seop dengan wajah yang ketakutan.

“Apa lagi yang bisa kau jelaskan hah?!!” bentak Dong Woo lebih keras.

“Mohon maaf Tuan muda… Tuan muda telah salah paham terhadap saya…”

“Sa… saya sama sekali tidak ada niat untuk bergabung dengan nyonya Min Ji, Tuan muda… jus… justru saya sangat ingin menolong Tuan muda…” jelas Min Seop dengan wajah yang tertunduk penuh rasa bersalah.

“Menolong dengan cara apa maksud Paman?” tanya Dong Woo masih panas.

“Semenjak Tuan muda kehilangan Seok Jin, saya terus berusaha untuk mencari tahu tentang keberadaan gadis itu. Jujur, saya merasa sangat sedih saat harus melihat Tuan muda terpisahkan dengan sahabat kecil Tuan muda yang sangat Tuan muda sayangi. Hingga akhirnya saya menemukan lagi Seok Jin satu sekolah dengan keponakan saya dan sekarang bekerja di tempat kursus keponakan saya. Makanya saya membawa Tuan muda ke sana, hanya saja, saya belum berani untuk membongkar siapa gadis bernama Jepang itu sesungguhnya…” jelas Min Seop panjang lebar.

“Jika memang begitu, lalu kenapa Paman tidak juga memberitahuku siapa Azumiya sesungguhnya?”

“Itu karena… karena saya ingin melihat kalian kembali bersatu seperti dulu. Karena saya tahu, jika identitas Azumiya terbongkar dan berita itu jatuh ke tangan Nyonya Min Ji, maka nasib Azumiya akan kembali terancam. Maka dari itu, saya tetap merahasiakannya dari Tuan muda…” sahut Min Seop lagi dengan dahi yang masih berkerut.

Dong Woo terpaku. ‘Benar juga apa yang dipikirkannya…’ gumamnya dalam hati.

“Justru saya merasa sangat senang saat melihat sikap Tuan muda berubah setelah mengenal Azumiya. Tuan muda jauh lebih ramah pada orang lain. Sama seperti Tuan muda yang dulu sebelum kecelakaan itu terjadi…”

Flashback on

“Hai Paman! Bagaimana kabarmu hari ini?” sapa Dong Woo sebelum sarapan pagi.

“Ba… baik Tuan muda…” sahut Min Seop bingung. Ia benar-benar terkejut melihat sikap Dong Woo yang tiba-tiba berubah. Bahkan kini ia sering bernyanyi dengan senyuman di bibirnya, sekalipun lagu yang ia bawakan bernada sedih.

“Tu… Tuan muda…” panggil Min Seop sambil mengejar langkah seribu Dong Woo yang menuju ruang makan.

“Ya Paman?” sahutnya yang langsung berhenti dan berbalik.

“Bolehkah saya bertanya sesuatu pada Tuan muda?”

“Yap, tentu. Apa apa?”

“Apa jepit rambut ini milik kekasih Tuan muda?” Min Seop menunjukkan sebuah jepit rambut mini yang sangat cantik dengan ukiran bunga mawar di ujungnya.

“Oh…” Dong Woo meraih jepit rambut itu dan ia perhatikan lekat-lekat. Tak lama senyuman manis berkembang di bibir tipisnya. “Ha… ini milik Azumiya… aku sengaja menyimpannya sebagai koleksi barang berhargaku…” sahut Dong Woo sambil memasukkan jepit itu ke dalam saku kemejanya. “Terima kasih Paman telah menyimpannya…” ucap Dong Woo manis sambil melangkah pergi setelah mendapat tundukkan Min Seop seolah berkata ‘sama-sama’.

Flashback end

“… Tuan muda sungguh seperti kembali seperti dulu yang selalu menjadikan barang-barang Seok Jin yang ketinggalan sebagai koleksi barang berharga Tuan muda… saya sungguh senang melihatnya…”

Dong Woo terdiam. Ia justru berpikir. Bukankah kebiasaannya dari kecil adalah mengoleksi barang Seok Jin yang ketinggalan dan menyimpannya sebagai barang berharga miliknya. Dan ia lakukan hal yang sama pada Azumiya. Kenapa ia bisa tidak menyadari bahwa orang yang selama ini ia cari-cari ada di depan matanya?! Ia merasa terlalu sibuk dengan perasaannya sendiri sampai tak bisa memikirkan hal tersebut.

“Azumiya… Azumiya…” Dong Woo menggedor daun pintu sebuah rumah kecil kuat-kuat. Jantungnya berdegup jauh lebih cepat dengan hati yang tak tenang dan tertekan. “Azumiya… buka pintunya…” pintanya setengah berteriak.

Dari dalam kamar, Azumiya tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya mendengar suara gaduh yang timbul dari ruang tamu. Sepertinya ada seseorang yang mencarinya.

Dengan sempoyongan Azumiya turun dari ranjang dan berjalan lamban menuju daun pintu ruang tamu.

“Sebentar…” sahut Azumiya lemah.

Tak lama daun pintu terbuka dan tiba-tiba saja Azumiya mendapat pelukan yang sangat erat dari orang yang tak sempat ia lihat wajahnya. Pelukan itu jauh lebih erat dari semua pelukan yang pernah ia rasakan seumur hidupnya.

Sebelum Azumiya menarik diri dari pelukannya, Dong Woo sudah lebih dulu melepas pelukan itu. Ia menatap wajah pucat Azumiya lekat-lekat.

“Dong Woo… ada apa? Mengapa pagi-pagi begini kau tiba-tiba datang dan memelukku?” tanya Azumiya bingung.

“Aku dengar kau sakit sejak 3 hari yang lalu. Aku merasa khawatir, jadi aku menemuimu…”

“Jadi, kau tinggal dengan siapa selama ini?”

“Sebelumnya aku tinggal bersama ibuku. Tapi sejak 3 tahun yang lalu, Ibu meninggal menyusul Ayahku. Jadi aku hanya tinggal sendiri…”

“Maaf bila aku…”

“Tak apa. Itu hanya sebuah masa lalu.” Azumiya tersenyum. Ia memberi Dong Woo secangkir teh hangat.

“Ehm, Azumiya, ngomong-ngomong tentang masa lalu, apa kau punya teman baik semasa kecilmu?” Dong Woo mencoba untuk memancing Azumiya agar mengingat masa lalunya.

“Teman semasa kecil?” Azumiya terlihat berpikir keras. “Kurasa tidak… ah, ya… aku lupa memberitahumu, kata ibuku, aku pernah mengalami gegar otak karena kecelakaan, jadi aku tidak ingat semua tentang masa laluku…” jelas Azumiya sambil menatap ke arah lain.

“Azumiya…” Dong Woo merencanakan sesuatu setelah beberapa lama mereka terdiam. Ia kembali teringat pada impian Azumiya yang pernah mereka bahas beberapa waktu yang lalu…

Flasback on

“Azumiya… apa kau punya impian yang belum pernah kau capai sampai detik ini?” tanya Dong Woo sambil memejamkan mata saat Azumiya mencuci bersih rambutnya.

Azumiya terdiam sebentar. Ia membulatkan matanya yang indah. “Ya… ada…”

“Apa itu?”

“Aku… aku ingin bertemu dengan seorang Pangeran, agar aku bisa dibawanya ke istana dan aku menjadi permaisurinya…”

Flashback end

“Aku ingin membawamu ke suatu tempat…” ajak Dong Woo langsung bangkit dan menarik tangan Azumiya lembut.

“Kemana?”

“Ke tempat impianmu…”

“Wah… apa ini benar-benar rumahmu?” Azumiya terkagum-kagum melihat kemegahan istana Dong Woo yang memang tak sering terumbar di media. Karena ia paling anti mempublikasikan segala sesuatu yang berbau milik orang tuanya.

Azumiya terdiam sejenak saat menyadari tak ada respon apa-apa dari Dong Woo yang semula seingatnya berada di belakangnya. Begitu berbalik… “Dong Woo…” Azumiya terkaget mendapati sosok Dong Woo tak ada lagi di belakangnya. “Dong Woo…” panggilnya lagi sambil berlari kecil ke dekat pintu gerbang yang semula ia masuki.

Ia tengok kanan-kiri. Ke arah bagasi, ia hanya menemukan mobil yang tadi membawanya ke tempat itu. Ke dalam mobil, ia intip melalui kaca, sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan. ‘Dimana dia? Kok aku ditinggal sendirian…’ gumam Azumiya bingung sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal sama sekali.

“Hah!!” Azumiya terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang memegang pundaknya. Dengan refleks ia berbalik.

“Taraaaa…” sebuah cincin cantik tersodor di hadapan matanya yang bening. Membuat ia terkejut dan mematung sendiri.

Tiba-tiba Dong Woo menunduk. Menekuk kakinya dan berlutut seperti seorang pangeran yang hendak melamar permaisurinya.

Azumiya masih mematung melihat pemandangan indah di hadapannya itu.

Dengan senyum yang sangat manis, “Mau kah kau menjadi permaisuri di kerajaanku ini?” pinang Dong Woo yang tiba-tiba saja membuat bola mata bening Azumiya berubah jadi berawan dan turun hujan.

“Hah…” Azumiya menutup mulutnya yang terbuka lebar menahan ketidakpercayaannya atas apa yang ada dihadapannya.

Dong Woo mengembangkan lagi senyumnya lebih lebar. Matanya berkedip seolah meminta jawaban atas persembahannya itu.

“Hah…” Azumiya mengangguk pelan dalam diam. Ia tak kuasa menggerakkan bibirnya.

Tanpa menunggu lagi, Dong Woo melingkarkan cincin indah itu di jari manis Azumiya dengan lembut. Lalu lekas ia berdiri.

Kedua mata Azumiya yang lembut betul-betul ia perhatikan lekat-lekat. ‘Azumiya memang Seok Jin-ku yang telah lama hilang…’ gumam Dong Woo dalam hati. Matanya berbinar indah. Jantungnya berdegup seirama dengan perasaan yang ia rasakan. Hingga tanpa sadar, kedua tangannya tak lama meraih wajah Azumiya dan hasrat membuat mereka berciuman dengan mata yang saling terpejam.

Azumiya memeluk tubuh tegap Dong Woo erat-erat. Ia merasakan perasaan indah yang sudah lama sekali tak pernah ia rasakan. Di tengah hembusan angin yang memenuhi bagasi, ia merasakan kehangatan yang membuatnya merasa terjaga. Benar-benar terjaga…

---


dont be silent reader please... ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar