Kamis, 24 Februari 2011

Bad Women part 1

“Tring… tring… tring…” lonceng tanda waktunya pulang telah tiba. Murid-murid 15 elementary school berhamburan keluar kelas menuju pintu gerbang untuk segera menemui masing-masing wali yang menjemput mereka. Ada yang bersama Ayahnya, bersama Ibunya, adapun yang bersama kedua orang tuanya. Tapi itu tidak semua, karena sebagian dari mereka hanya dijemput oleh pengasuh sekaligus supir pribadi keluarga mereka.

“Hahaha…” sebagian dari anak-anak yang masih berumur delapan tahun ke bawah tertawa lepas sambil balapan berlari menuju pintu gerbang yang sudah di penuhi orang-orang dewasa.

“Kau jaga…” sebagian lagi menghabiskan waktu mereka dengan bermain sampai wali mereka datang.

Namun ada satu bocah lelaki yang terkenal dingin dan pemurung. Ia tak pernah mau berbaur dengan anak lain. Umurnya delapan tahun sejak dua bulan lalu. Ia berasal dari keluarga yang terkenal karena keberhasilannya dalam bidang kesehatan. Keluarga anak itu memiliki 5 rumah sakit yang tersebar di seluruh Korea dan 15 apotek. Anak itu bernama Han Dong Woo.

Sebenarnya Dong Woo adalah siswa baru di 15 elementary school. Keluarganya memasukkannya di sekolah orang-orang terpandang itu sejak kejadian tragis yang bocah itu alami di acara ulang tahunnya yang ke delapan.

“Dong Woo… apa kau ingin ikut bergabung dengan kami?” tawar salah satu teman sekelasnya yang sibuk bermain sepak bola.

Tanpa menjawab, Dong Woo berlalu dari hadapan mereka. Bahkan untuk menoleh pun ia tak berselera.

Min Seop―pengasuhnya sejak ia lahir―tak lama datang menghampiri Dong Woo dengan memayungi anak majikannya itu dan menjajari langkah kecilnya yang mengarah ke mobil.

“Sombong sekali dia…” desis Taek Goo yang tadi mengajaknya bermain.

“Iya…” sahut yang lain kompak.

Setelah mobil mercy mereka berlalu, barulah anak-anak itu kembali bermain.

Di dalam mobil, Dong Woo masih saja menekuk wajahnya yang sama sekali tak ceria seperti anak lain. Min Seop jadi kikuk sendiri menghadapi Tuan mudanya itu yang semakin hari semakin buruk sikapnya.

“Apa Tuan muda hari ini mengalami masalah?” tanya Min Seop mencoba menyapa Dong Woo yang terus murung.

“Tidak.” jawab Dong Woo diam dengan mata yang terus menatap ke depan. Min Seop jadi semakin bingung. Ia tak tahu bagaimana agar ia dapat mencairkan suasana.

“Ehm… apa tuan muda ingin singgah di restoran untuk makan siang?” tawar Min Seop dengan senyum yang ia berikan melalui kaca tengah.

“Tidak, aku ingin segera ke kamar. Ada sesuatu yang harus kukerjakan.” jelas Dong Woo datar dan dingin.

“Baiklah kalau begitu…” Min Seop terpaksa diam dan tetap konsentrasi menyetir. Percuma ia mencoba untuk menyapa Tuan mudanya itu, karena bocah itu sudah sangat jauh berubah.

“Maaf Nyonya, Tuan muda… Tuan muda…” salah satu pelayan tiba-tiba menghadap Min Ji―bibi Dong woo―dengan terengah-engah.

“Ada apa dengan Dong Woo?” Min Ji jadi ikut kaget.

“Tuan muda… Tuan uda tidak ada di kamarnya…” sahut pelayannya dengan nada takut.

“APA??” Min Ji terbangkit dari duduknya dengan wajah marah dan kaget.

Dong Woo melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak yang sudah lama sekali tidak ia lalui. 3 Km sudah ia lalui sejak semalam ia mencoba kabur dari rumahnya. Wajahnya kini sudah dipenuhi peluh. Bibirnya sedikit pucat. Sejak kejadian dua bulan lalu itu ia memang tak pernah lagi melakukan perjalanan, apalagi sampai sejauh ini. Hidupnya selalu dipenuhi aturan dan penjagaan.

“Hah hah hah…” Dong Woo berhenti sejenak di bawah pohon sambil meneguk lagi tetesan-tetesan terakhir dari persediaan minum yang ia bawa. Nafasnya tersengal-sengal. Punggungnya terasa sangat sakit karena ia sudah memikul ransel yang ukurannya cukup besar selama delapan jam.

“Aku harus kuat… aku harus menemukan dia, aku yakin dia belum mati… dan aku yakin dia adalah gadis yang kuat, jadi ia tidak mungkin mati hanya karena kecelakaan itu…” desis Dong Woo lirih dengan sorot mata yang tajam dan tekad yang bulat. Ia kembali melangkah menuju tempat yang sangat ingin ia tuju yang jaraknya sudah tidak jauh lagi.

“Seok Jin…” panggil Dong Woo tiba-tiba saat ia baru saja ingin melangkah dan menemukan sosok yang selama ini ia cari-cari.

Seorang gadis kecil duduk sendiri termangu. Menahan dagunya di atas lutut sambil memandang sungai di hadapannya. Rambutnya yang panjang terurai tak beraturan menutup wajahnya. Tapi tanpa harus melihat wajahnya, Dong Woo sudah benar-benar mengenali gadis kecil itu.

Dengan langkah yang terseok-seok, Dong Woo mencoba berlari mengejar gadis itu. Tas ransel di pundaknya segera ia lepas. Botol air mineral yang di genggamnya di jatuhkan ke tanah tanpa peduli. Tak peduli berapa banyak batu yang harus ia injak dan berapa banyak ilalang yang harus menggores kakinya. Dalam sorot kedua matanya hanya ada gadis itu. Tak ada yang lain. Hanya gadis itu.

“Seok Jin…” panggilnya dengan setengah berteriak saat ia tiba di belakang gadis itu. Senyumnya merekah indah saat gadis itu berbalik dan yang ia lihat memang benar sosok yang selama ini ia rindukan dan ia cari.

Namun gadis itu membalas tatapannya dengan wajah yang bingung. Kedua alisnya bertaut. Matanya terlihat kosong. Dan tak ada sedikitpun senyum di bibirnya.

“Seok Jin, maaf aku baru bisa menemukanmu sekarang…” jelas Dong Woo dengan wajah yang merasa bersalah.

Namun gadis itu tetap menatapnya dengan wajah yang bingung. “Apa ada yang salah denganku? Mengapa tatapanmu seperti itu?” tanya Dong Woo ikut bingung.

“Kau siapa?” ungkap gadis itu akhirnya.

Seketika Dong Woo merasa tersentak. Jantungnya terasa berhenti sesaat. Senyum di wajahnya pudar seketika.

“Apa kau mengenalku?” tanya gadis itu lagi makin membuat Dong Woo terpaku. Ia merasa sangat tidak percaya dengan apa yang ia dapatkan dari gadis yang selama ini ia cari-cari.

“Kau Seok Jin ‘kan?” tanya Dong Woo terbata-bata.

“Dara… Dara…” tiba-tiba saja terdengar teriakan seorang ibu tua dari kejauhan yang menyebutkan nama yang sama sekali tidak pernah Dong Woo dengar. “Dara…” ibu itu berhenti dihadapan mereka. “Kau sedang apa di sini Nak? Kau tidak apa-apa ‘kan?” ibu itu langsung merunduk mengusap-usap wajah bocah perempuan itu seolah memastikan apa ada luka di wajah bocah itu.

Dong Woo terdiam. Matanya membulat dengan tangan yang teruntai lemas. Ia semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

“Tunggu!” tiba-tiba Dong Woo menyela mereka. Ia menghalangi tubuh Seok Jin dari wanita itu dengan wajah yang marah. Yang ada dalam pikirannya, Seok Jin selama ini pasti diculik oleh ibu tua itu. Dan mungkin Seok Jin telah diracuni sehingga ia tidak mengenal Dong Woo lagi.

“Kau siapa? Kau pasti orang yang sudah menculik Seok Jin dan meracuninya agar ia tidak mengenaliku lagi…” ungkap Dong Woo dengan tangan yang menggenggam jemari Seok Jin erat-erat.

“Apa yang kau lakukan pada anakku? Justru kau yang siapa! Beraninya merebut anakku. Awas kau… minggir…” sahut ibu tua itu kesal sambil mendorong-dorong tubuh Dong Woo.

“Tidak...” Dong Woo malah menarik tangan Seok Jin membawa gadis itu menjauhi ibu tua yang berusaha merenggut Seok Jin dari genggaman Dong Woo. “Aku Han Dong Woo, sahabat kecil Seok Jin, kau siapa? Beraninya mengakui ia sebagai anakmu!” tantang Dong Woo berani.

“Apa? Ka… kau… kau… Han Dong Woo?” tiba-tiba ibu tua itu terlihat kaget. Matanya membulat dan mulutnya menganga.

Selang beberapa detik, ibu tua itu tba-tiba menarik Seok Jin paksa dan menggendongnya sambil membawa lari Seok Jin. Dong Woo ia dorong kuat-kuat hingga jatuh ke sungai.

Tanpa diam, Dong Woo segera bangkit dan berlari mengejar ibu tua itu. Tapi sayangnya ada sesuatu yang terasa sangat perih di kakinya yang membuat it tak mampu untuk menyaingi langkah lamban ibu tua itu.

Kaki kirinya robek tergesek batu sungai yang kasar dan membuat langkahnya dipenuhi banyak darah. Rasa perih itu tak mampu ia tahan hingga akhirnya ia terduduk dan menangis.

“Aahhh…” keluhnya sambil memegangi kakinya. Matanya masih sempat menangkap sosok ibu tua itu yang membawa lari Seok Jin hingga jauh dari pandangannya. Dan Seok Jin hanya menangis sambil menatapnya. Ia tahu Seok Jin merasa ketakutan.

“Tuan muda… Tuan muda…” tiba-tiba Min Seop berlari menghampirinya dari belakang. “Tuan muda kemana saja? Apa anda tidak apa-apa?” tanya Min Seop berderet sambil memperhatikan Dong Woo lekat-lekat. “Astaga Tuan muda terluka…” Min Seop terkaget melihat luka robek di kaki kiri Dong Woo.

“Paman… Paman tolong selamatkan Seok Jin… ia diculik oleh nenek-nenek ke arah sana…” tunjuk Dong Woo ke arah Seok Jin pergi dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya.

Min Seop terbelalak kaget mendengar perintah itu. “Ayo Tuan muda… kita harus segera mengobati luka Tuan muda…”

“Tidak Paman, Paman tolong bantu aku menyelamatkan Seok Jin, Paman… dia diculik…” jelas Dong Woo mengelak.

Min Seop tampak kebingungan. Ia merasa tak mungkin untuk membongkar rahasia itu detik ini juga. Dong Woo masih terlalu kecil untuk diajari tentang dendam keluarganya.

“Paman! Paman kenapa diam?” Dong Woo membentak pengasuhnya itu yang tampak melamun. “Kalau Paman tidak mau menolongnya, biar aku saja yang menolongnya…” ancam Dong Woo yang langsung bangkit dan mencoba berjalan dengan kaki yang berlumuran darah.

“Tuan muda… Tuan muda…” tiba-tiba Min Seop memeluk tubuh Dong Woo dari belakang dengan wajah yang penuh rasa bersalah. “Aku mohon Tuan muda… dengarkanlah saya…” pelas Min Seop membuat Dong Woo terpaku. “Tolong Tuan muda jauhi dia… tolong lupakan dia…” pinta Min Seop dengan sangat memelas.

“Maksud Paman apa?” tanya Dong Woo yang tak mengerti dengan sikap pengasuhnya yang tidak biasanya itu.

“Itu karena… karena…”

“Karena apa Paman?!” potong Dong Woo dengan nada membentak.

“Karena Seok Jin lah… yang… membunuh kedua orang tua Tuan muda…” jelas Min Seop dengan penuh rasa bersalah dan terpaksa.

“APA??” Dong Woo langsung melepas pelukan Min Seop di tubuhnya dan berbalik menatap pengasuhnya itu.

Min Seop menunduk. Bahkan hingga tubuhnya jauh lebih rendah dari tubuh Dong Woo yang setinggi 100 Cm. Ia merasa sangat bersalah setelah mengatakan itu.

“Apa maksudmu dengan semua itu? Apa? APA??” Dong Woo menggoncang-goncangkan tubuh Min Seop kuat-kuat menagih jawabannya.

“APA!!” Dong Woo teriak kuat-kuat mengisi seluruh isi kamarnya hingga membuatnya terduduk dan terbangun dari mimpinya.

“Hah hah hah…” nafasnya terengah-engah. Jantungnya berdetak cepat tak beraturan. Sekujur tubuhnya dipenuhi keringat meski ia tidur tanpa mengenakan pakaian. Hanya selembar selimut yang masih menempel di kakinya. Matanya kunang-kunang meski telah ia pejamkan dan ia usap kuat-kuat.

Tak lama ia kembali menyenderkan tubuhnya di sandaran ranjang tidurnya yang cukup lebar. Ia mencoba mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal. Matanya terpejam.

“AAArrgghh…” teriaknya kesal pada mimpinya itu.

“Tok tok tok…” tiba-tiba terdengar ketukan dari balik daun pintu kamarnya.

Dengan langkah gontai, ia beranjak dari ranjangnya dan berjalan mendekati lemari untuk mengambil kaus putihnya yang tergantung rapid an segera mengenakannya. Dalam hitungan tiga ia telah membuka daun pintu kamarnya dan menemukan sosok Min Seop yang tampak dengan wajah penuh rasa bersalah.

“Ada apa Paman?” ungkap Dong Woo langsung setelah menangkap adanya ketidakberesan.

“Bolehkah saya masuk? Hal ini terlalu rahasia untuk dijelaskan di tempat seperti ini…” pinta Min Seop dengan wajah memelas.

“Masuklah Paman…” izin Dong Woo yang langsung membawa pengasuhnya masuk ke dalam kamarnya dan menutup daun pintu setelah memperhatikan keadaan sekitar.

Mereka menempati sofa yang terletak di sudut ruangan di bagian bawah ranjang.

“Ceritakanlah Paman, apa yang terjadi?” Dong Woo langsung membuka percakapan.

“Sebelumnya saya mohon maaf…” ungkap Min Seop dengan wajah yang tertunduk.

“Ya…” Dong Woo mengangguk.

“Apa Tuan muda ada agenda pada hari Senin nanti?”

“Senin?” Dong Woo mencoba mengurai isi memorinya tentang semua janji yang sudah ia buat selama seminggu terakhir. “Kurasa tidak ada, ada apa?”

“Maukah Tuan muda mengunjungi keponakanku di tempat kursus keseniannya? Tempat kursusnya baru saja membuka salon kecantikan, dan untuk acara peresmiannya, mereka kekurangan dana untuk mengundang artis. Jadi, aku terpikir untuk meminta bantuan Tuan muda untuk menjadi bintang tamunya. Hitung-hitung sebagai perkenalan kecil-kecilan Tuan muda atas cita-cita Tuan muda untuk menjadi seorang penyanyi.” jelas Min Seop dengan keberanian untuk menatap Tuan mudanya itu.

Dong Woo tampak mempertimbangkan.

“Tapi jika Tuan muda tidak berkenan, tidak apa-apa. Dan saya mohon maaf atas kelancangan saya ini…” tambah Min Seop dengan wajah yang kembali tertunduk.

Dong Woo mengangguk-angguk dalam diam. “Tawaran yang sangat baik sekali Paman, mungkin aku bisa memperkenalkan diriku di sana. Sekalipun aku belum menjadi seorang penyanyi yang dipimpin di bawah management, tapi aku bisa melakukan sedikit percobaan dengan perkenalan dengan tamu-tamu di acara peresmian salon kecantikan itu.” pertimbangan Dong Woo yang terdengar mantap.

Min Seop tersenyum cerah mendapati respon yang baik itu. “Terima kasih banyak Tuan muda, kalau begitu, saya permisi.”

“Ehm, Paman, bisakah Paman rahasiakan ini dari Bibi?” tanya Dong Woo dengan wajah ketakutan.

“Tentu Tuan muda, saya berjanji untuk merahasiakan ini dari keluarga Tuan muda.” sahut Min Seop yang di akhiri dengan saling senyum.

“Anda pasti bisa Tuan muda…” spirit Min Seop sambil menepuk pundak Dong Woo member semangat.

“Terima kasih Paman…” sahut Dong Woo dengan senyum yang ramah.

Satu, dua, tiga, hitung Dong Woo dalam hati yang langsung melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju panggung.

Ia menempati kursi tinggi sambil menggenggam sebuah gitar. Dengan grogi ia menyesuaikan letak micnya hingga sejajar dengan bibirnya dan dapat dengan mudah ia gunakan.

Semua mata tertuju padanya saat ini. Sebagian orang yang menempati bangku tamu terlihat mencibirnya dengan kata-kata yang terdengar berbisik.

Mental Dong Woo sedikit down mendapati pemandangan itu. Ia tahu harusnya ia sudah siap menerima semua itu dengan statusnya yang belum menjadi seorang penyanyi sungguhan.

I hear you breathe

You're lying close to me

The shadows gone

I have found my peace…” Dong Woo mulai melantunkan lagunya diiringi petikan gitar yang dimainkan bersama 2 orang pemusik pendampingnya.

Tiba-tiba saja, ia merasa gugup dan salah petik. Ditambah lagi senar gitarnya yang tiba-tiba putus.

Samar-samar terdengar cibiran itu semakin mendesak kuat di telinganya. Membuatnya merasa panik dan berhenti tanpa tahu harus berbuat apa.

“You make me calm

With you I'm safe from harm

And right by your side

I'll stay through the night 'til eternity

That's the way it will be…” tiba-tiba seorang gadis dengan dress soft pink ikut bernyanyi dengan keras dari sudut meja tamu. Mengheningkan cibir-cibir tamu undangan yang terdengar makin lama makin nyaring.

Salah satu teknisi mengantarkan mic pada gadis imut itu. Namun anehnya, gadis itu tampak malu dan ingin menolak tawarannya.

“Ambillah, dan segera maju ke panggung… ayolah… selamatkan acara ini…” mohonnya dengan wajah penuh pelas.

“Tidak… aku tidak bisa…” gadis itu menolak.

“Ayolah…”

“Maaf… aku tidak punya keberanian…”

“Apa kau ingin ku laporkan pada bos agar kau tidak jadi dipekerjakan di salon ini?” kali ini teknisi itu mengeluarkan ancamannya.

“Ah…” gadis itu berubah ketakutan.

Teknisi itu menyerahkan mic ke tangan gadis itu dan dengan paksa mendorong gadis itu masuk panggung.

Dong Woo dengan gugup menatap pengasuhnya yang berada di belakang stage.

“Sambut gadis itu Tuan… ayo!! Kau pasti bisa!!” isyaratnya pada Tuan mudanya.

Dengan kaku, Dong Woo menuruti permintaan Min Seop. Ia langsung berdiri dan meletakkan gitarnya di sisi kursi. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu gadis itu menaiki anak tangga.

Dengan lembut gadis itu menatap kedua matanya dan menerima uluran tangan itu.

Slepp… tiba-tiba saja Dong Woo merasakan hal yang aneh pada gadis itu. Ia seperti pernah menggenggam tangan gadis itu sebelumnya, hanya saja ia tak ingat kapan hal itu terjadi.

Seiring dengan waktu berjalan, Dong Woo menempatkan gadis itu di sisinya. Dan mengajaknya untuk bernyanyi bersama.

And I wonder what you're dreaming of

You're so peaceful when you sleep

Everything I want everything I need is lying here in front of me…

And if I ever lose my power to fly

Then your love takes me high

I'll always be true to you

Sometimes I think I might lose it all

Guess the chances are small

'Cause you hold me close I feel you near

Don't let go say you'll always be here

just hold me tight and I'll be fine

Dreaming you will always be mine…” duet mereka yang mereka lalui dengan pegangan tangan dan saling menatap tanpa mereka sadari.

Tanpa mereka sadari. Ternyata tak hanya mereka yang terenyuh dalam suasana lagu itu. Tapi juga seratus khalayak di hadapan mereka yang terihat menarik kata-kata mereka lagi yang sudah mencibir Dong Woo sebelumnya.

Dong Woo tampak lebih beraura dari pada penyanyi lain yang sudah menyandang status yang sah sebagai seorang penyanyi.

“Azumiya… kau keren sekali… apa dia pacarmu?” serbu teman-teman gadis pemalu itu dengan sederet pertanyaan.

“Hah? Bukan… aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Aku hanya…”

“Hai…” Dong Woo memotong pembicaraan mereka yang membuat mereka tiba-tiba histeris.

“Hah… bolehkah saya berkenalan dengan Anda?” tiba-tiba Seo Hyun menyela dan menghalangi Azumiya untuk sekedar bertemu lagi dengan Dong Woo.

“Ee… Oh, tentu…” Dong Woo menerima tawaran itu dengan terpaksa.

“Aku Seo Hyun… kau?”

“Dong Woo…” sahut Dong Woo dengan senyum yang terpaksa. Seo Hyun memang paling menguasai di antara mereka. Ia juga yang mendapat julukan paling cantik di antara pegawai yang lain. Sehingga yang lain langsung mengalah.

“Oh, Dong Woo… bolehkah aku berfoto denganmu?”

“I… iya... tentu…” sahut Dong Woo lagi kembali dengan terpaksa.

Sebelum mereka berpose, Dong Woo sempat melihat gadis yang ingin ditemuinya itu pergi.

Lalu, timbul lagi sifat dingin Dong Woo yang seperti biasanya muncul.

“Permisi…” tiba-tiba ia melarikan diri dari kerumunan itu.

“Lho, Dong Woo, aku belum mendapatkan fotomu…”

Dong Woo tak menghiraukan itu. Ia tetap melangkah pergi meninggalkan mereka. Dimatanya hanya ada satu, yaitu gadis itu.

“Dasar! Sombong sekali dia…” celetuk Seo Hyun dengan keras.

“Iya…” sahut yang lain.

Sambil berjalan, Dong Woo menyadari sesuatu. “Bukankah kata-kata itu…” tiba-tiba ia berbalik. Di tatapnya satu persatu wajah-wajah gadis itu dengan tatapan yang sadis.

Kata-kata itu sama persis seperti kata-kata teman SDnya dulu. Sehari sebelum ia bertemu Seok Jin.

Tanpa mengeluarkan kata-kata, ia kembali berbalik dan langsung pergi. Ada sesuatu yang harus ia temukan dari gadis itu.

Tiba-tiba saja, seorang lelaki bertubuh gemuk dan berperut buncit ditemani beberapa orang lelaki di belakangnya menghentikan langkahnya tepat di hadapan Dong Woo.

“Apa kau yang bernama Han Dong Woo?” tanya lelaki berumur itu.

“Ya…” sahut Dong Woo jadi takut sendiri.

“Kenalkan, saya Kim Soo Ro, apa Anda ada waktu?”

“Untuk apa?”

“Saya ingin menawarkan kontrak pada Anda” sahut lelaki itu datar.

“Kontrak?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar